Sistem Politik di Indonesia

Sistem politik di Indonesia



A.  SUPRA STRUKTUR DAN INFRA STRUKTUR POLITIK DI INDONESIA

          Substansi politik adalah keputusan politik, karena keputusan politik itu bersifat otoritif (sah dan mengikat masyarakat secara keseluruhan) dan berlakunya dapat dipaksakan. Keputusan politik meliputi kebijakan umum/publik dan keputusan yang menyangkut orang-orang yang akan menyelenggarakan kebijakan publik (penjahat pemerintah). Kebijakan publik merupakan program yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan masyarakat/negara. Patokan atau acuan dalam suatu pengambilan keputusan politik adalah ideologi, konstitusi, undang-undang, ketersediaan anggaran, sumber daya manusia, efektivitas dan efisiensi, etika dan moral yang hidup dalam masyarakat, dan agama.

Dilihat dari segi isi dan prosedur pembuatan keputusan politik dikenal 3 tipe, yaitu keputusan rutin, keputusan darurat, dan keputusan bukan keputusan (Ramlan Surbakti, 1992). Keputusan rutin berisi upaya mengatasi dan mengatur permasalahan yang kompleks, dan penyusunannya memerlukan waktu relatif lama. APBN dan Undang-undang pokok di Indonesia dapat digolongkan sebagai keputusan rutin.

Keputusan darurat, merupakan keputusan di buat untuk mengatasi suatu keadaan darurat yang perlu penanganan segera. Seperti keputusan untuk menghadapi perang dari luar, bencana alam, kekacauan politik, konflik sosial, dan kekacauan ekonomi. Sedangkan yang dimaksud keputusan bukan keputusan, untuk memberikan istilah pada keputusan yang sebenarnya tidak mengandung konsekuensi secara hukum, bersifat vertikal dan kalaupun bersifat tertulis dimaksudkan hanya untuk menenangkan masyarakat. Keputusan ini sama sekali tidak disertai kehendak politik yang kuat untuk mewujudkannya.

Sistem politik merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan politik dipandang sebagai sistem. Setiap sistem memiliki sifat:
a.   terdiri dari banyak bagian-bagian
b.   bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung
c.   sistem itu memiliki perbatasan (boundaries) yang memisahkan dengan lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain;
          Bagian atau unsur sistem politik yang bersifat universal adalah fungsi politik dan struktur politik. Menurut Gabriel A.Almond (dalam Muchtar Mas’oed, 1981) ilmuwan politik yang mendalami tentang sistem politik, fungsi politik dalam sistem politik dapat dibagi dalam dua bagian yaitu fungsi input dan fungsi output. Fungsi input meliputi: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi politik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik.
          Artikulasi kepentingan, yaitu pernyataan aspirasi atau kepentingan masyarakat, terutama dilakukan oleh kelompok kepentingan (organisasi sosial keagamaan, profesi,dan kelompok masyarakat yang lain). Agregasi kepentingan dimaksudkan kegiatanuntuk memadukan berbagai kepentingan masyarakat yang bermacam-macam bahkan bertentangan satu sama lain untuk diperjuangkan menjadi suatu kebijakan publik. Agregasi kepentingan merupakan kelanjutan dari artikulasi kepentingan dan terutama dilakukan oleh partai politik. Sosialisasi politik, merupakan proses pengalihan (transformasi) nilai-nilai politik agar terbentuk pandangan/orientasi, sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai politik yang berlaku dalam masyarakat/sistem politik nasional. Misalnya, di Indonesia yang menganut sistem politik demokrasi Pancasila, maka nilai-nilai politik yang ditransformasikan adalah nilai-nilai politik yang terdapat dalam demokrasi Pancasila, seperti: keseimbangan diantara hak dan kewajiban, mengutamakan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama/publik, berpolitik yang etis (religius, menghargai HAM, menjunjung persatuan, demokratis, dan untuk kepentingan kesejahteraan umum). Sosialisasi politik ini, terutama dilakukan partai politik, disamping dapat dilakukan oleh keluarga, masyarakat, sekolah (terutama melalui mata pelajaran Kewarganegaraan), dan pemerintah. Komunikasi politik, merupakan proses penyampaian informasi politik dari pemerintah kepada rakyat atau dari rakyat kepada pemerintah.
          Komunikasi politik terutama dilakukan oleh partai politik, partai politik perlu menerjemahkan informasi yang mudah dipahami oleh pemerintah dan masyarakat agar terjadi komunikasi interaktif dan efektif antara pemerintah dan masyarakat. Informasi politik yang dikomunikasikan misalnya: mengenai program kerja pemerintah pemenang pemilu, keresahan rakyat atas lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah, dan informasi kebijakan publik yang lain. Sedangkan yang dimaksud rekrutmen politik, yakni proses seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk melakukan sejumlah peran dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah khususnya, misalnya partai politik menempatkan para kadernya untuk menjadi anggota legislatif (DPR/DPRD), di eksekutif untuk menjadi menteri, diikutsertakan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk menduduki posisi sebagai gubernur, bupati/wali kota.



          Fungsi output meliputi: pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman kebijakan. Pembuatan kebijakan dimaksudkan proses untuk mengambil keputusan dari berbagai alternatif yang ada yang berupa program untuk mewujudkan tujuan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Penerapan kebijakan merupakan implementasi/pelaksanaan dari kebijakan publik yang telah dihasilkan dari proses pembuatan kebijakan. Sedangkan proses penghakiman kebijakan merupakan penjamin agar kebijakan dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembuatan kebijakan. Penghakiman kebijakan merupakan kegiatan untuk penegakkan peraturan.
          Struktur politik didefinisikan sebagai suatu pola interaksi yang dianggap sah, dengan mana tata masyarakat dipertahankan dan dipelihara. Dengan kata lain struktur politiklah yang menjalankan fungsi-fungsi politik (fungsi input dan fungsi output). Struktur-struktur politik terdiri atas kelompok kepentingan, partai politik, birokrasi,badan legeslatif, badan eksekutif, dan badan peradilan. Idealnya, setiap struktur politik memiliki fungsi politik yang khas (spesialisasi fungsionil). Misalnya, kelompok kepentingan menjalankan artikulasi kepentingan, partai politik mengagregasikan kepentingan, badan legeslatif dan eksekutif merumuskan kebijakan strategis seperti UU dan eksekutif merumuskan kebijakan teknis, seperti PP, Keppres, dan birokrasi yang melaksanakan kebijakan.
          Dengan kata lain, fungsi input dijalankan oleh struktur politik masyarakat (infra struktur politik) seperti: partai politik, kelompok kepentingan (misal: organisasi sosial keagamaan, organisasi profesi, LSM dan organisasi kemasya-rakatan yang lain), pers, tokoh politik, tokoh masyarakat, dan warga negara secara individual. Sedangkan fungsi output merupakan monopoli struktur-struktur politik legal formil, seperti badan legislatif/parlemen, eksekutif, yudikatif, dan birokrasi, sehingga fungsi ini disebut pula sebagai fungsi pemerintahan (suprastruktur politik).


2.   Cara Kerja Sistem Politik
          Cara kerja sistem politik dapat digambarkan bermula dari proses politik dengan masuknya input, input yang berupa kepentingan diartikulasikan atau dinyatakan oleh kelompok kepentingan dan diagregasikan atau dipadukan oleh partai politik sehingga kepentingan-kepentingan yang khusus itu menjadi usul kebijakan yang lebih umum, dan selanjutnya dimasukkan dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif. Tahap perubahan input menjadi output (kebijakan) ini disebut tahap konversi. Tahap pembuatan kebijakan ini merupakan inti dari keseluruhan proses politik. Kebijakan ini kemudian dilaksanakan oleh birokrasi. Untuk menjamin kebijakan itu dilaksanakan secara sungguh-sungguh sehingga menjadi kenyataan dijamin oleh adanya fungsi penghakiman yang dijalankan oleh badan peradilan.
          Dengan kata lain secara ringkas dapat digambarkan bahwa kerja sistem politik dari input berupa tuntutan kepentingan diubah menjadi output berupa kebijakan, yang selanjutnya melalui umpan balik, masuk kembali ke dalam sistem politik dalam ujud tuntutan kepentingan baru, dan demikian selanjutnya.


3. Infra Struktur dan Supra Struktur Politik di Indonesia
          Dasar negara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan produk hasil musyawarah para pendiri negara/tokoh-tokoh bangsa kita dari berbagai ras, suku, aliran, dan latar belakang sosial-ekonomi, dan pendidikan yang berbeda seperti yang terlihat pada sidang-sidang BPUPKII dan PPKI. Musyawarah itu dilaksanakan dalam suasana terbuka, saling berdebat/tukar pikiran, berdialog, hangat, tajam/kritis, tetapi tetap dikendalikan oleh rasa tanggung jawab untuk mencari kebenaran bersama sehingga keputusan bersama pengambilan (konsensus) dapat dicapai. Berdebat dalam musyawarah penting sebagai dasar keputusan bersama, jika hal ini tidak ada berarti keputusan yang diambil bersifat dipaksakan dan keadaan seperti ini berlaku dalam sistem politik otoriter/totaliter. Debat kusir atau debat berkepanjangan tanpa arah/tujuan maupun bersitegang menganggap hanya pandangannya yang paling benar dapat menimbulkan anarkisme. Hal ini dapat membahayakan keutuhan kehidupan bersama.
          Keinginan para pendiri/tokoh bangsa, agar bangsa kita mempraktikkan konsep atau mengamalkan nilai musyawarah-mufakat, yang terdapat dalam sila keempat dari Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” (Alfian, 1993). Rumusan sila keempat ini, secara jelas menunjukkan negara Indonesia menganut sistem demokrasi. Hal ini dapat dipahami dari definisi kerakyatan yang dikemukakan Notonagoro ahli filsafat Pancasila terkemuka Indonesia (dalam Mubyarto, 2004) bahwa kerakyatan dari sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat, sebagai pendukung kekuasaan (demokrasi politik) dan pendukung kepentingan fungsional (demokrasi fungsional) dalam lapangan kenegaraan atas dasar tritunggal “negara dari rakyat, bagi rakyat, dan oleh rakyat”.
          Di samping itu, masih menurut Notonagoro sila keempat harus dipahami dalam susunan Pancasila. “Susunan Pancasila adalah hirarkis dan mempunyai bentuk piramida”. Dengan susunan yang demikian, maka antara lima sila ada hubungan yang mengikat antara sila satu dengan yang lain, sehingga Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat. Jadi kalau masing-masing sila terpisah satu sama lain, tidak ada hubungan yang mengikat maka dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila. Dalam susunan hirarkis dan piramida , maka Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “sebab yang pertama” (causa prima) sehingga menjadi basis daripada kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila yang lainnya.
          Dengan demikian setiap proses politik dalam kerangka sistem politik demokrasi Pancasila terutama dalam perumusan, pembuatan, pelaksanaan dan penegakkan keputusan politik bersifat religius, menjunjung tinggi martabat manusia (hak asasi manusia), memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (Bhineka Tunggal Ika), dan untuk meningkatkan kesejahteraan umum/masyarakat. Kemudian penerapan sistem politik demokrasi Pancasila dalam kehidupan bernegara didasarkan pada konstitusi (UUD 1945). Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam UUD 1945 pasca amandemen. Yaitu dalam Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1:
1)   Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik
2)   Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.
3)   Negara Indonesia adalah negara hukum


Pelaksanaan Demokrasi Pancasila dalam Pengambilan Keputusan
          Pengambilan keputusan dalam demokrasi Pancasila menggunakan cara: (1) Musyawarah mufakat, dan (2) Suara terbanyak. Baik musyawarah mufakat maupun suara terbanyak, keduanya merupakan cara pengambilan keputusan untuk mencapai konsensus. Perbedaan antara keduanya terletak pada bagaimana cara proses untuk mencapai konsesus. Pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat melalui proses perubahan pendapat dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (perbedaan pendapat) untuk menemukan titik temu yang disepakati sebagai dasar pengambilan keputusan. Sedangkan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak, konflik yang terjadi diselesaikan melalui pemungutan suara terbanyak (voting). Pendapat yang memperoleh suara terbanyak menjadi pendapat bersama sehingga perbedaan pendapat dapat diselesaikan.
          Muswadi Rauf (2000) salah satu ilmuan politik Indonesia terkemuka mengemukakan dikenal 4 (empat) macam model konsensus yang didasarkan atas musyawarah untuk mufakat yang terhadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (perbedaan pendapat) yaitu sebagai berikut:

1.   Model Konsensus Pendapat Internal
Dalam model ini konsensus dibangun atas gabungan dari butir-butir pendapat dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Oleh karena itu, konsensus ini sering disebut konsensus pendapat internal. Prosesnya sebagai berikut:
a.   Musyawarah untuk mencari butir-butir pendapat yang disetujui oleh masing-masing pihak yang terlibat konflik.
b.   Musyawarah mencari butir-butir pendapat yang disetujui oleh semua pihak dan membuang butir-butir pendapat yang tidak disepakati. Dalam proses ini akan terjadi tawar menawar dari pihak-pihak terlibat konflik karena harus ada kesediaan setiap pihak untuk membuang butir-butir pendapat sendiri yang tidak disetujui pihak lain dan menerima pendapat pihak lain yang semula tidak disetujui. Oleh karena itu proses musyawarah untuk mencapai konsensus adalah sesuatu yang tidak mudah. Diperlukan waktu dan tenaga yang banyak untuk mencari titik temu. Namun model ini dapat menghasilkan konflik dan sekaligus juga dapat menuntaskan konflik di masyarakat.

2.   Model Konsensus Pendapat Dominan
Dalam model ini konsensus dibangun atas disepakatinya pendapat dari salah satu pihak yang terlibat dalam konflik. Cara konsensus ini dikenal sebagai konsensus pendapat dominan. Konsensus ini pada umumnya terjadi apabila yang terlibat konflik lebih dari dua pihak. Karena  besarnya perbedaan pendapat di antara mereka, dan setelah musyawarah tidak mencapai hasil, bisa saja muncul pendapat yang menganggap bahwa pendapat salah satu pihak dianggap baik untuk dijadikan konsensus.

3.   Model Konsensus Pendapat Luar
Dalam model ini konsensus dibentuk dari pendapat-pendapat lain di luar pihak yang terlibat konflik atau bukan dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Konsumen seperti ini dapat dinamakan konsensus pendapat luar. Digunakannya pendapat luar ini disebabkan karena adanya kesulitan dari pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima pendapat dari masing-masing pihak yang berkonflik. Hal ini terjadi karena perbedaan pendapat yang sangat tajam diantara pihak-pihak yang berkonflik, namun pihak-pihak yang berkonflik melihat ada butir-butir pendapat dari pihak lain di luar pihak yang berkonflik yang bisa mereka setujui. Pihak lain bisa saja mediator atau pihak lain di mana pun juga yang ada dalam masyarakat.

4.   Model Konsensus Gabungan
Model ini merupakan gabungan dari berbagai model konsensis yang dibahas di atas. Dalam model ini digunakan butir-butir pendapat tertentu yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat konflik, di samping butir-butir pendapat lain yang berasal dari pihak-pihak lain yang tidak terlibat konflik. Diterimanya butir-butir tertentu dari pihak lain, menunjukkan ada kesulitan dari pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menerima butir-butir pendapat mereka sendiri. Sebagai cara untuk menghasilkan konsensus, mereka menggunakan pendapat pihak lain yang dapat disetujui bersama.

          Sedangkan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak dalam demokrasi Pancasila menganut tiga formula. Formula pertama, persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR yang hadir dalam hal pengambilan keputusan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR. Formula kedua, pengambilan keputusan dengan suara terbanyak 50% + 1 (mayoritas mutlak) dari seluruh jumlah anggota MPR dalam hal menetapkan atau mengubah UUD 1945.

          Formula ketiga, pengambilan keputusan dengan suara terbanyak di luar pengambilan keputusan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dan penetapan/pengubahan UUD 1945. Misalnya, dalam pengambilan keputusan menerima/menolak suatu RUU menjadi UU; menerima/menolak dimasukkannya pasal-pasal tertentu dalam UU.


B. PERBEDAAN SISTEM POLITIK DI BERBAGAI NEGARA
          Istilah yang sering kita jumpai dalam kehidupan politik yakni mengenai corak atau macam-macam sistem politik, kita mengenal sistem politik otoriter, sistem politik demokrasi, sistem politik totaliter dan sistem politik liberal.
          Penggolongan macam-macam sistem politik tersebut didasarkan pada kriteria yaitu siapa yang memerintah dan ruang ligkup jangkauan kewenangan pemerintah. Kriteria ini dikemukakan oleh Carter dan Herz (dalam Ramlan Surbakti, 1992). Apabila pihak yang memerintah terdiri atas beberapa orang atau kelompok kecil orang maka sistem politik ini disebut “pemerintahan dari atas” atau lebih tegas lagi disebut oligarki, otoriter, ataupun aristokrasi. Di lain pihak, apabila pihak yang memerintah terdiri atas banyak orang, maka sistem politik ini disebut demokrasi. Kemudian apabila kewenangan pemerintah pada prinsipnya mencakup segala sesuatu yang ada dalam masyarakat, maka rezim ini disebut totaliter. Sedangkan apabila pemerintah memiliki kewenangan yang terbatas yang membiarkan beberapa atau sebagian besar kehidupan masyarakat  mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah dan apabila kehidupan masyarakat dijamin dengan tata hukum yang disepakati bersama, maka rezim ini disebut liberal.
          Macam sistem politik juga bisa dilihat dari sudut historis dan perkembangan sistem politik (Ramlan Surbakti, 1992). Dari sudut penglihatan ini, maka dikenal perkembangan sistem politik dari otokrasi tradisional ke otoriter dan sampai pada demokrasi. Disamping itu, berkembanglah sistem politik di negara-negara berkembang yang sangat dipengaruhi oleh kultur dan struktur masyarakat setempat, maupun yang dikembangkan berdasarkan kombinasi unsur-unsur terbaik dari ketiga sistem tersebut (otokrasi tradisional, totaliter dan demokrasi).

1. Sistem Politik Otokrasi Tradisional
a.   Menekankan stratifikasi ekonomi daripada persamaan.
b. Menekankan pada perilaku yang menuruti kelompok kecil penguasa daripada kebebasan individu.
c.  Menekankan kebutuhan moril dan nilai-nilai moral daripada kebutuhan materiil.
d.  Menekankan pada kolektivisme yang berdasarkan kekerabatan daripada individualisme,
e.   Faktor primordial (seperti suku bangsa, ras, dan agama) sebagai pemersatu masyarakat, yang acapkali terjelma dalam pribadi pemimpin yang dominan (otokrat) seperti sultan, raja, atau kaisar menjadi identitas bersama.
f.    Otokrat memerintah berdasarkan tradisi dan paksaan,
g.   Distribusi kekuasaan terbatas pada sekelompok kecil orang yang berada di sekitar otokrat, seperti kaum bangsawan, tentara, tuan tanah, dan pemuka agama/alim ulama. Merekalah yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, karena kelompok sosial modern seperti kelompok kepentingan, partai politik, dan media massa belum berkembang,
h. Partisipasi politik dari masyarakat (petani) belum berkembang, karena mereka miskin, buat huruf, terkungkung dengan tradisi,dan dikuasai oleh tuan tanah,
i. Legitimasi kewenangan otokrat bersumber dan berdasarkan tradisi (keturunan dari pemimpin terdahulu yang dipandang oleh masyarakat sebagai orang yang harus memerintah karena asal-usul dan kualitas pribadinya).
j.  Ada jurang politik (kekuasaan) yang lebar antara penguasa dan penduduk pedesaan. Juga jurang ekonomi yang lebar antara otokrat dan kelompok kecil (elit) penguasa yang mengitarinya, yang  sekaligus pemegang kekayaan, dan massa petani yang tak memiliki apa-apa selain tenaga mereka.

2.  Sistem Politik Totaliter
Sistem politik totaliter menekankan konsensus total di dalam masyarakat dengan cara indoktrinasi ideologi dan paksaan, dan juga melakukan konflik total dengan musuh-musuhnya di dalam  maupun di luar negeri. Sistem politik ini dibedakan menjadi dua, yaitu komunis dan fasis. Komunisme merupakan pemberontakan besar pertama dalam abad kedua puluh terhadap sistem ekonomi yang kapitalis dan liberal. Komunisme mrupakan pengaturan pemerintahan dan masyarakat secara totaliter dengan suatu kediktatoran yang mewakili kaum proletar (pekerja). Contoh negara yang masih menerapkan sistem politik komunis adalah RRC (Republik Rakyat Cina), Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan Albania. Negara-negara Eropa Timur (Jerman Timur, Polandia, rumania, Cekoslawakia, dan Bulgaria) dan Uni Soviet telah meninggalkan sistem politik komunis pada tahun 1989 dan 1991.

Fasisme merupakan pemberontakan kedua terhadap sistem ekonomi kapitalis dan liberal maupun terhadap komunisme. Fasisme merupakan pengaturan pemerintahan dan masyarakat secara totaliter dengan suatu keditatoran tunggal yang sangat nasionalitis, rasialis, militeristis, dan imperialistis. Contoh negara-negara yang pernah menerapkan fasisme adalah Jermandi bawah Hitler dengan Nazi-nya, Italia dibawah Musollini, Jepang dengan Dai ToAnya dan kerja sama militer dan Zaibatsu, Spanyol di bawah Generalisimo Franco, dan rezim aparheit Afrika Selatan.

Komunisme dan fasisme keduanya masuk dalam sistem politik totaliter, tetapi mendasarkan pada hal berbeda. Fasisme didasarkan pada nasionalisme yang chauvanistik, rasialis, dan militeristis (negara polisi), sedangkan komunisme lebih mendasarkan diri pada ideologi komunisme yang doktriner dan bersifat eskatalogis (masyarakat tanpa kelas, sama rata sama rasa). Berikut ini diuraikan sistem politik komunis dan fasisme.
a. Sistem Politik Komunis
          Sistem politik komunis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)  Menerapkan prinsip sama rata sama rasa dalam bidang ekonomi, sehingga menekankan jaminan pemenuhan kebutuhan materiil khususnya kebutuhan pokok.
2) Sekularisme yang radikal dengan menggantikan agama dengan ideologi komunis sebagai faktor sakral yang mempersatukan masyarakat dan bersifat doktriner dan eskatologis.
3)  Kebebasan politik individu dan hak-hak sipil untuk mengkritik penguasa partai tidak dijamin, kepentingan individu tunduk kepada kehendak partai, negara dan bangsa (kolektivisme)
4)   Menekankan pada kemerdekaan nasional dan bebas dari penindasan asing.
5)   Kekuasaan dimonopoli dan dilaksanakan secara sentral dengan partai tunggal. Kekuasaan paksaan yang dilaksanakan oleh militer dan polisi rahasia lebih menonjol daripada kekuasaan konsensus. Partai diorganisasi secara hirarkis dan dipimpin oleh sekelompok kecil yang disebut politbiro. Politbiro dipimpin oleh seorang pemimpin utama. Pemimpin partai sekaligus bertindak sebagai pimpinan negara dan pemerintahan. Pemimpin utama dan politbiro inilah yang membuat dan mengorganisasikan pelaksanaan kebijakan umum.
6)   Dasar kewenangan pemimpin berupa peranan sebagai ideologi, yaitu penafsir dalam pelaksana ideologi yang bersifat doktriner dan eskatalogis. Pada pihak lain, masyarakat menaati pimpinan partai dan pemerintahan, atas dasar karena dipilih oleh anggota konggres sesuai dengan prosedur yang ditetapkan partai, dan juga karena mereka memiliki kewenangan untuk menggunakan kekuasaan paksaan.
7)   Pemerintah yang dikelola oleh partai tunggal mengendalikan kegiatan ekonomi dalam koordinasi unit ekonomi maupun dalam pengadaan barang dan jasa. Kecuali itu, juga dalam kegiatan memproduksi maupun distribusi barang dan jasa. Kegiatan ekonomi yang merupakan prakarsa individu dan swasta di larang.
2) Sistem Politik Fasis
          Adapun ciri-ciri sistem politik fasis sebagai berikut (Herqutanto Sosronagono, 1984):
a)   Dasar ideologinya adalah sosialisme nasional.
b)   Membangun negara yang maju berdasarkan superioritas di atas negara-negara lain.
c)   Mempersatukan kaum industrialis dan tuan tanah serta pemilik modal di bawah kekuasaan negara yang disebut Sinkrasi.
d)   Memelihara ketentaraan yang kuat dan besar bagi keperluan penaklukan negara lain.
e)   Pemerintahan dijalankan secara diktator di bawah seorang diktator.
f)   Kekuasaan bersifat totaliter.
g)  Menolak kesamaan derajat dan martabat manusia (rasialisme).
h)   Menyusun imperium untuk tidak tergantung kepada bangsa lain (imperrialis).
i)    Pola perilaku penguasa berdasarkan kebohongan propaganda dan kekerasan untuk mencapai tujuan.
j)    Menentang ukum internasional dan tata tertib dunia.
k)   Wanita dianggap warga negara kelas 2, karena tidak sekuat pria untuk ber-perang.

3.       Sistem Politik Demokrasi
          Ciri-ciri sistem politik demokrasi sebagai berikut:
1)     Persamaan kesempatan politik bagi individu dijamin dengan hukum. Ini berarti setiap individu memiliki kebebasan untuk mengejar tujuan hidupnya. Oleh karena itu setiap individu harus menggunakan kesempatan politik itu dengan menggabungkan diri kedalam organisasi sukarela untuk bersama-sama mempengaruhi pemerintah agar membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.
2)     Menekankan persamaan kesempatan ekonomi daripada pemerataan oleh pemerintah. Ini berarti setiap individu bebas mencari dan mendayagunakan kekayaan sepanjang dalam batas-batas yang disepakati bersama, seperti persaingan bebas yang wajar, undang-undang anti monopoli, dan peka pada lingkungan hidup.
3)     Faktor yang mempersatukan masyarakat adalah bersatu dalam perbedaan. Contohnya, Unity in diversity untuk Amerika Serikat, Bhineka Tunggal Ika  untuk Indonesia. Ini berarti masyarakat tetap dijamin untuk tetap mempertahankan keterikatannya pada identitas seperti suku, daerah, ras, agama, dan adat-istiadat. Bersamaan itu, masyarakat semua penduduk mempunyai keterikatan pada suatu dasar dan tujuan yang sama. Dasar yang sama itu berupa keterikatan pada lembaga demokrasi, saling percaya, kesediaan hidup berdampingan secara rukun dan damai, dan kesediaan berkompromi dan bekerja sama.
4)     Adanya distribusi kekuasaan yang relatif merata diantara kelompok sosial dan lembaga pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Hal ini akan menimbulkan persaingan dan saling kontrol antara kelompok sosial yang satu dengan yang lain, antara lembaga pemerintah, dan antara kelompok sosial dengan pemerintah. Tetapi dalam persaingan itu ada kesadaran bahwa kekuasaan itu hanya sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan umum, sehingga ada kesediaan untuk berkompromi dan bekerjasama.
5)     Prinsip kewenangan dan legitimasi bersifat prosedural (rule of law) yang diatur dalam konstitusi. Ini berarti penguasa mendapat kewenangan berdasarkan konstitusi dan masyarakat menaatinya karena penguasa dipilih atau diangkat berdasarkan prosedur yang ditetapkan dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan.
6)     Pemerintah dan swasta ikut ambil bagian secara aktif dalam kegiatan ekonomi dan pemilikan barang dan jasa.
          Apabila diperhatikan mengenai ciri-ciri sistem politik demokrasi tersebut diatas, maka tampak bahwa setiap warga negara/masyarakat dijamin oleh hukum untuk menggunakan kebebasan dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik agar menguntungkan kepentingannya. Di pihak lain apabila dalam proses mempengaruhi itu terjadi konflik dengan kelompok lain/pemerintah, maka harus bisa diselesaikan berdasarkan prinsip untuk kepentingan umum/kesejahteraan masyarakat. Sehingga kebijakan publik yang dihasilkan adalah hasil kompromi dari berbagai kepentingan kelompok yang ada. Oleh karena itu, sistem politik demokrasi sering dinyatakan sebagai sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Ini berarti konflik bukanlah sesuatu yang dilarang atau dibenci dalam sistem politik demokrasi. Dalam sistem politik demokrasi konflik merupakan sesuatu yang fungsional atau bermanfaat sebagai perwujudan upaya mewujudkan kepentingan masyarakat yang pluralis. Agar konflik itu bermanfaat yang diperlukan adalah mengelola konflik agar bisa diselesaikan dengan konsensus secara alamiah atau sukarela atas dasar pertimbangan untuk mewujudkan kepentingan bersama bukan karena ada penekanan atau pemaksaan. Pengelolaan konflik yang demikian, akan menghasilkan rasa kebersamaan yang sejati (tidak semu) yang merupakan faktor penting bagi persatuan bangsa.

Perbedaan Sistem Politik
          Pada era perang dingin terjadi ketegangan antara negara-negara blok Barat yang menganut sistem politik demokrasi dengan negara-negara blok Timur yang menganut sistem politik otoriter/totaliter. Setelah runtuhnya US (Uni Soviet) yang menandai usainya era perang dingin, maka AS menjadi satu-satunya negara super power. “AS selalu menyatakan bahwa pertarungan terbesar abad kedua puluh adalah antara kebebasan dan totaliterisme dan dimenangkan secara meyakinkan oleh kekuatan kebebasan, demokrasi, dan pasar bebas” (Kompas 7 Februari 2005). Tetapi apabila memperhatikan perilaku AS dengan mengirim pasukan ke Irak dan menggulingkan Saddam Husein, sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi yang tidak mentolirer pemaksaan kehendak.
          Menurut ilmuwan politik AS Samuel P. Huntington (dalam Robert Bartley, et.al, 1994) mengemukakan bahwa sebenarnya ada perbedaan sistem politik demokrasi antara negara-negara di Barat (AS dan Eropa). Perbedaan itu diantaranya adalah pada gagasan pengawasan dan penyeimbangan (checks dan balances) Di Eropa, teori demokrasi dan gerakan-gerakan demokrasi menantang gagasan pengawasan dan penyeimbangan. Di AS gagasan itu dikaitkan secara integral sebagai  cara yang saling melengkapi untuk membatasi kemungkinan terjadinya konsentrasinya kekuasaan. Meskipun kedaulatan di tangan rakyat dan tidak dalam organ pemerintah, tetapi despotisme demokrasi (democratic despotism), tirani mayoritas, ditakuti persis sebesar ketakutan rakyat akan tirani dalam sistem monarki atau aristokrasi. Karena perbedaan ini meskipun AS dan Inggris sama-sama negara yang menganut sistem politik demokrasi, tetapi menerapkan sistem pemerintah yang berbeda. Inggris menerapkan sistem pemerintahan parlementer dan AS dengan sistem pemerintahan presidental. Identitas demokrasi AS terletak pada kredo (paham, kepercayaan) yang berupa: kebebasan, individualisme, liberalisme, dan kesamaan. Kredo tersebut oleh James Bryce (Robert Bartly, et.al, 1994) pada tahun 1890-an diringkaskan unsur-unsur utamanya sebagai berikut:
1.     Masing-masing individu memiliki hak-hak suci.
2.     Sumber kekuasaan politik adalah rakyat.
3.     Semua pemerintahan dibatasi oleh hukum dan rakyat.
4.     Pemerintah lokasi harus didahulukan dibandingkan dengan pemerintahan pusat.
5.     Kelompok mayoritas lebih bijaksana dibandingkan dengan kelompok minoritas.
6.     Semakin sedikit campur tangan pemerintah semakin baik.
          Dengan demikian perbedaan dalam implementasi sistem politik demokrasi antara suatu negara dengan negara lain merupakan sesuatu yang wajar. Perbedaan itu terutama terjadi karena perbedaan latar kebudayaan dan kondisi sosial-ekonomi. Namun yang terpenting perbedaan dalam penerapan sistem politik demokrasi, prinsip-prinsip atau nilai-nilai dasar demokrasi yang bersifat universal seperti: kebebasan, persamaan, penghormatan terhadap HAM, dan prinsip negara hukum, kepentingan umum rakyat, jangan sampai dikorbankan karena alasan perbedaan budaya dan sosial ekonomi. Dengan kala lain perbedaan itu semata-mata pada cara atau teknik bagaimana mewujudkan sistem politik demokrasi, bukan pada nilai-nilai dasar atau substansi demokrasi yang memang bersifat universal. Misalnya, konsensus dalam pengambilan keputusan dalam sistem politik demokrasi merupakan substansi, karena merupakan perwujudan penegakkan terhadap nilai kebebasan, persamaan, HAM dan kepentingan umum. Sistem politik demokrasi ala Amerika dalam pengambilan keputusan untuk mencapai konsensus, dilakukan dengan cara teknik suara terbanyak (voting). Sistem politik demokrasi Pancasila untuk mencapai konsensus dalam pengambilan keputusan, dilakukan dengan mengupayakan lebih dulu musyawarah mufakat, jika tidak tercapai baru melalui suara terbanyak (voting). Dengan pemahaman yang demikian, maka akan terdapat saling menghargai perbedaan sistem politik antara negara yang satu dengan negara yang lain.


C. PERAN SERTA DALAM SISTEM POLITIK DI INDONESIA

Menurut Alfian (1992)  salah seorang ilmuwan politik terkemuka Indonesia “Intisari sistem politik demokrasi terletak pada pengakuan, dan pelaksanaan pengakuan itu, bahwa kekuasaan politik sebenarnya berada di tangan anggota-anggota masyarakat atau rakyat”. Ini berarti ketika suatu sistem politik itu masih mencerminkan pengakuan dan pelaksanaan kekuasaan politik semacam itu, maka sistem politik itu masih layak dianggap sebagai demokrasi, walaupun di sana-sini masih terlihat berbagai kekurangan dan kelemahan.
          Pengembangan demokrasi di Indonesia dalam tataran pengakuan sangat kuat, tatapi sangat lemah dalam pelaksanaan. Dalam pelaksanaan kadar kekuasaan politik pada rakyat masih rendah. Oleh karena itu yang terpenting dalam pengembangan demokrasi di Indonesia bagaimana mengembangkan kekuasaan politik pada rakyat semakin kuat, dan pada pihak lain bagaimana mencegah berkembangnya anti demokrasi (pengurangan atau penghapusan kekuasaan politik rakyat), serta melakukan pembatasan kekuasaan pemerintah.
          Demokrasi di Indonesia memang masih dalam proses pencarian bentuk. Dengan kata lain di Indonesia sekarang ini yang terjadi baru pada tahap demokratisasi (proses menuju demokrasi). Tidak mengherankan apabila dalam pelaksanaan kehidupan politik riil, ada tarik menarik antara kadar bobot kekuasaan politik rakyat dengan kadar kekuasaan politik penguasa. Misalnya, di Indonesia pernah berkembang demokrasi liberal, di mana kadar kekuasaan politik rakyat cenderung menguat. Pada perkembangan berikutnya, yakni pada waktu bekembangnya demokrasi terpimpin dan Demokrasi Pancasila, kadar kekuasaan politik rakyat sangat rendah, sebaliknya kadar kekuasaan politik penguasa sangat kuat.
          Dalam pemerintahan Orde Baru yang menyatakan mengembangkan Demokrasi Pancasila, elit penguasa berperan sebagai pelaku utama kontrol dan pengawasan terhadap proses politik dalam masyarakat. Hal ini tampak pada peran birokrasi bail sipil dan militer yang sangat menonjol. Terutama militer yang bersama-sama dengan kaum teknokrat memiliki pengaruh besar dalam pengelolaan sosial, ekonomi dan politik baik pada tingkat nasional maupun lokal. Para pengamat politik Indonesia pada umumnya sepakat bahwa birokrasilah yang menjadi tulang punggung utama sistem politik Orde Baru sehingga disebut sistem politik birokratik (bureaucratic politiy) (A.S. Hikam, 1999). Pengembangan sistem politik birokratik ini, dapat menciptakan pemerintahan yang stabil dan mampu memelihara integrasi nasional sebagaoi landasan pembangunan tetapi dengan menekan kekuatan-kekuatan demokrasi. Seperti penerapan kebijakan perampingan partai politik, depolitisasi masa lapis bawah, pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional, dihapuskannya pluralisme ideologi dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kita juga dipertontonkan adanya pelarangan, pembatasan-pembatasan terhadap mereka yang dicap radikal atau membahayakan kepentingan nasional. Seperti yang diterapkan pada individu maupun kelompok seperti bekas tokoh partai terlarang (PKI, Masyumi, PSI), mantan Tapol/Napol, kelompok Islam garis keras, warga negara nonpribumi, khususnya Cina, dan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai kelompok yang berbeda/berseberangan dengan kehendak penguasa Orde Baru. Individu maupun kelompok tersebut di atas, harus selalu diwaspadai karena berbahaya atau merupakan penyakit bagi stabilitas nasional. Bahkan kalau perlu tidak sekedar diwaspadai tetapi diberantas. Dalam rangka melakukan kewaspadaan ini, cara yang dilakukan misalnya dengan memberlakukan litsus, screening, wajib lapor, KTP bertanda khusus, dan lain-lain. Jika dianggap perlu praktik-praktik seperti penghilangan atau penculikan serta penyiksaan pun akan dilaksanakan.
          Pembangunan yang dilakukan oleh Orde Baru dibawah kontrol penguasa yang sangat kuat, ternyata memiliki titik lemah. Titik lemah itu tidak hanya demokrasi menjadi tidak bekembang, tetapi titik lemah itu juga karena utang luar negeri menjadi andalan utama biaya-biaya pembangunan. Sritua Arief (A.S. Hikam, 1999) salah seorang pakar ekonomi politik Indonesia memberikan kritik, bahwa utang luar negeri telah membuat Indonesia mengalami “Fisher Paradox”, yaitu situasi di mana semakin banyak cicilan utang luar negerinya. Hal ini disebabkan karena cicilan plus bunga lebih besar dari nilai uang baru, maka terjadi “net transfer” sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing. Dengan demikian menurut Sritua Arief, Indonesia sebenarnya terjebak dalam lingkaran ketergantungan kepada pihak asing.
          Dewasa ini pada era reformasi perkembangan demokrasi sering diistilahkan masih pada tataran prosedural (demokrasi prosedural). Dikatakan masih pada tataran demokrasi prosedural, karena prosedur-prosedur dalam proses politik demokrasi memang telah ada dan dilaksanakan. Misalnya, pemilu sudah dijalankan untuk memilih legislatif (DPR/DPRD atau DPD) dan pemilu Presiden secara langsung (tidak dipilih lagi melalui legislatif/MPR) untuk pertama kali dilaksanakan pada pemilu 2004, tetapi pemilu itu belum dibarengi dengan mental yang demokratis. Misalnya, dalam pemilu masih terjadi hal-hal sebagai berikut: pemalsuan ijazah oleh caleg, intimidasi, brutalisasi/penganiayaan, politik uang, manipulasi suara, masih adanya aparat pemerintah menggiring pemilih untuk memilih partai politik tertentu (birokrasi tidak netral secara politik).
          Begitu pula legislatif sebagai perwakilan politik (DPR/DPRD) dan perwakilan fungsional (DPD) telah melakukan fungsi legislatif dan kontrol terhadap eksekutif, tetapi baru bersifat prosedural. Kita bisa melihat pada perilaku mereka (wakil rakyat) belum benar-benar memperjuangkan aspirasi-aspirasi rakyat atau konstituennya (para pemilihnya). Mengapa, hal itu terjadi? Penjelasan atas pertanyaan ini bisa dengan menggunakan teori model perwakilan. Dikenal 4 model perwakilan dalam suatu sistem politik, yaitu (1) model wali; (2) model delegasi; (3) model instrumen partai; (4) model instrumen pemerintah (A.S.Hikam, 1999).
          Pertama, yaitu model wali (pengampu) dari konstituen para wakil memandang dirinya bebas atau terikat (independensi) secara mutlak dan tidak terkait dengan kepentingan yang diwakilinya (konstituen). Sebagai wali, mereka dapat melakukan proses pengambilan keputusan tanpa lebih dahulu mendapat kesepakatan dari yang diwakili dan karenanya merasa tidak perlu bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya kepada si terwakil. Mereka berkeyakinan bahwa hanya merekalah yang tahu apa yang terbaik untuk kepentingan publik.
          Kedua, model delegasi. Dalam model ini para wakil adalah instrumen untuk menyampaikan aspirasi para konstituen yang karena kondisi geografis dan demografis yang sangat besar tidak memungkinkan melakukan proses artikulasi kepentingan secara langsung. Untuk menentukan siapa yang menjadi wakil, dilakukan melalui proses seleksi dan pemilu. Konsekuensinya, sikap dan tindakan para wakil senantiasa dalam pengawasan rakyat. Posisi para wakil tergantung kepada pemilih, karena pemilih dapat mencabut kembali pilihannya apabila para wakil kurang mampu atau menyalahi aturan yang disepakati/janji ketika kampanye pemilu. Namun dalam perkembangannya, para wakil tidaklah hanya menuruti kemauan secara membabi buta. Mereka memiliki otonomi dalam menerjemahkan aspirasi dan kepentingan yang dianggap baik untuk kepentingan seluruh rakyat di dalam dewan perwakilan yang kemudian akan mereka pertanggungjawabkan kembali. Hal ini penting agar wakil rakyat tidak terjerumus ke dalam diktator mayoritas.
          Ketiga, model instrumen partai. Dalam model ini para wakil lebih merupakan instrumen partai. Meskipun mereka mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi sebenarnya lebih bertanggung jawab kepada partai dan melayani aspirasi partai. Partai memiliki oronomi yang sangat kuat dalam menggariskan kepentingan-kepentingan apa yang harus diperjuangkan di lembaga perwakilan. Partai memiliki hak untuk menarik kembali (recalling) wakil-wakil yang tidak sejalan dengan garis partai. Para pemilih yang tidak puas, hanya memiliki kesempatan pada masa pemilu untuk menolak calon-calon wakil yang diajukan partai.
          Keempat, model instrumen pemerintah. Dalam model ini para wakil merupakan kepanjangan tangan kepentingan pemerintah yang berkuasa. Meskipun secara formal menyatakan dirinya sebagai wakil rakyat yang memilihnya melalui pemilu, tetapi sebenarnya mereka hanya sebagai tukang stempel dari pemerintah. Posisi pemilih sangat lemah bahkan sama sekali tidak dipedulikan (teraliensi) dari proses pembuatan keputusan/kebijakan publik di dewan perwakilan. Hanya pemerintahlah yang tahu yang baik atau yang penting bagi rakyat, rakyat hanya sebagai penonton dalam peraturan politik.
          Dengan demikian pengembangan demokrasi di Indonesia, sampai saat ini masih pada tahap demokratisasi. Bagaimana sikap yang seharusnya ditampilkan oleh warga negara dalam menghadapi perkembangan demokratisasi ini? Untuk mewujudkan demokrasi masih perlu kerja keras dengan senantiasa membuka diri untuk melihat kelemahan-kelemahan selama ini, terutama pada mentalis penyelenggara negara, politisi maupun warga negara. Mentalis yang berkembang di Indonesia seperti tampak pada pemikiran, sikap dan perilaku (budaya) baik pada penguasa, politisi, dan warga negara masih banyak bertentangan dengan demokrasi. Misalnya: (1) sikap politik konservatif yang tidak berkehendak menerima perubahan-perubahan ke arah lebih maju; (2) sikap politik reaksioner, yaitu menentang segala kebijakan yang datang dari luar kelompoknya meskipun kebijakan tersebut baik; (3) perilaku anarkis, yakni bertindak bebas tidak mau terikat oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat; (4) sikap saling curiga yang berlebihan sehingga mudah terprovokasi, yang pada akhirnya menimbulakn konflik sosial yang banyak meminta korban harta dan jiwa serta mengancam disintegrasi bangsa; (5) ada kecenderungan dalam masyarakat kita ketika menghadapi berbagai persoalan termasuk masalah demokrasi mengatasinya cukup dengan berbicara, padahal tanpa diikuti aksi, maka demokrasi hanya sebatas menjadi wacana; dan (6) seperti yang dinyatakan Bung Hatta, proklamator negara tercinta, bahwa demokrasi baru akan terwujud apabila ada penegakkan hukum. Padahal dewasa ini kita rasakan bersama bahwa penegakkan hukum di negara kita sangat lemah. Demokrasi yang menghendaki adanya kebebasan, persamaan, HAM, dan perubahan kehidupan bernegara secara tertib dan damai serta beradab, jaminan itu hanya dapat diwujudkan ketika hukum ditegakkan. Itulah beberapa pemikiran, sikap, dan perilaku yang tidak menunjang pengembangan demokrasi.
          Pertanyaan selanjutnya yaitu sikap apa yang dapat menunjang pengembangan demokrasi di Indonesia? Sikap positif warga negara yang dianggap penting dan dapat menunjang pengembangan demokrasi di Indonesia diantaranya adalah adanya kepercayaan (trust) dan komitmen terhadap demokrasi. Kepercayaan terhadap demokrasi dimaksudkan bahwa dalam diri setiap warga negara ada kepercayaan bahwa dirinya mampu mempengaruhi sistem politik demokrasi yang ada untuk dapat memenuhi harapan-harapan atau kepentingan-kepentingannya maupun kepentingan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan yang dimaksudkan komitmen bahwa pada diri warga negara memiliki keterikatan yang kuat bahwa dalam mengatasi berbagai persoalan terutama dalam kehidupan publik akan diselesaikan sesuai dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai dan cara-cara demokrasi. Kedua sikap di atas (kepercayaan dan komitmen), dapat digolongkan pada sikap politik yang rasional dan proporsional. Sikap politik yang rasional dan proporsional merupakan sikap positif terhadap pengembangan demokrasi, karena sikap politik ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut (A. Husein, 2003):
1.   Mendasarkan pada moralitas dan integritas;
2.   Mendasarkan pada kepentingan bangsa dan negara;
3.   Mendasarkan pada kesejahteraan rakyat;
4.   Mendasarkan pada etika, kepatutan dan hati nurani.
          Dengan sikap politik rasional dan proporsional, maka dapat mendorong penegakkan hukum, dan akan dapat mencegah berkembangnya perilaku anarkis, otoriterisme, sikap politik reaksioner, dan sikap politik konservatif.

          Bagi setiap warga negara perlu memberikan penghargaan (apreasiasi) terhadap sistem politik demokrasi Pancasila. Apresiasi terhadap sistem politik demokrasi Pancasila, merupakan salah satu perwujudan dari sikap politik yang rasional dan proporsional. Karena sikap politik ini, tidak akan menimbulkan sikap yang merendahkan sistem politik demokrasi Pancasila dimungkinkan muncul pada diri warga negara, ketika melihat bahwa dalam kehidupan politik senyatanya masih jauh dari sikap yang mencerminkan pelaksanaan sistem pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun karena sikap yang rasional dan proporsional, maka seorang warga negara juga akan melihat sisi kelebihan serta menyadari bahwa untuk mewujudkan sistem politik demokrasi Pancasila memerlukan proses yang panjang. Yang terpenting demokratisasi terus diupayakan secara terus menerus dan berkesinambungan.
          Kelebihan sistem politik demokrasi Pancasila, adalah merupakan produk para bapak pendiri negara (founding fathers), terutama dalam memberikan sifat yang melekat pada sistem politik demokrasi secara umum. Dalam sistem politik demokrasi secara umum, rakyat diberikan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Baik keputusan politik yang berupa kebijakan publik, yaitu program kegiatan untuk mewujudkan tujuan yang menyangkut kepentingan umum, maupun keputusan politik yang berupa penentuan pejabat sebagai pelaksana kebijakan publik. Misalnya, rakyat diberikan kesempatan untuk mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan daerah dan memilih kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota).
          Keputusan politik yang dihasilkan oleh sistem politik demokrasi Pancasila harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila seperti tercermin dalam ke lima sila Pancasila yaitu meliputi nilai: religius, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Kelima sila Pancasila adalah merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisahkan antara sila satu dengan lainnya, serta tersusun secara hirarki piramida adalah merupakan konsep orisinil bangsa Indonesia. Ini berarti nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila secara terpisah-pisah memang dapat ditemukan pada bangsa-bangsa lain di dunia, tetapi sebagai nilai yang merupakan kesatuan yang utuh dan tersusun secara hirarki piramida adalah merupakan ciri khas Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Seperti hal ini dinyatakan oleh Alfian (1992), salah seorang pakar politik terkemuka Indonesia yang menyatakan keorisinilan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia terletak pada tiga kenyataan di bawah ini:
1.   Bangsa Indonesia sendiri yang memilih sila dari dalam dirinya;
2.   Bangsa Indonesia pula yang memutuskan urut-urutan kelima sila itu sebagaimana sekarang;
3.   Bangsa Indonesia mempersiapkan kelima sila itu sebagai satu rangkaian kesatuan yang utuh, bukan terpisah-pisah.
          Nilai Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh juga digambarkan oleh Bung Hatta, yang menyatakan bahasa sila pertama dan sila kedua merupakan funda-mental moral, dan sila ketiga, keempat dan kelima merupakan fundamental politik, sehingga pelaksanaan kehidupan politik di Indonesia telah memiliki dasar moral yang kokoh. Dengan demikian seharusnya praktik-praktik politik yang sejalan dengan sistem politik demokrasi Pancasila adalah yang religius dan humanis.
          Perlunya apresiasi terhadap sistem politik demokrasi Pancasila ada pada setiap warga negara, karena dalam kenyataan empirik demokratisasi tampak semakin menguat. Indikasi demokrasi seperti yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl ahli politik yang mengkaji secara mendalam mengenai demokrasi bisa kita jumpai di lapangan meskipun masih perlu disempurnakan. Dahl, memberikan indikasi adanya demokrasi oleh:
1.   Ada jaminan bahwa kebijakan publik dibuat sesuai dengan kepentingan masyarakat.
2.   Pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala, bersifat bebas dan adil;
3.   Hak untuk memilih;
4.   Hak untuk menduduki jabatan publik;
5.   Masyarakat punya kebebasan untuk memperoleh hak-haknya: berekspresi dan berpendapat;
6.   Masyarakat punya akses terhadap sumber informasi alternatif;
7.   Masyarakat bebas membentuk/bergabung dengan organisasi manapun.
          Perkembangan demokrasi di Indonesia, apabila diperhatikan secara seksama, meskipun dalam praktik masih banyak kelemahan, tetapi pada setiap periode perkembangan demokratisasi menunjukkan kemajuan-kemajuan yang memberikan optimisme. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh:
1.     Penghapusan fraksi TNI dan Polri di DPR/MPR;
2.     Adanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung;
3.     Adanya DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang merupakan perwakilan rakyat sebagai representasi geografis/wilayah provinsi di parlemen yang akan menjamin semua kepentingan provinsi dalam keputusan nasional, hukum-hukum, dan Anggaran Belanja Nasional;
4.     Berkembangnya sistem multipartai (peserta Pemilu 1999 diikuti sekitar 48 partai politik, Pemilu 2004 diikuti 24 partai politik). Hal ini menunjukkan adanya jaminan kebebasan berorganisasi yang tinggi;
5.     Adanya kebebasan pers yang semakin menguat dengan ditandai penghapusan Departemen Penerangan. Departemen Penerangan selama ini ditakuti oleh kalangan pers karena memiliki kewenangan untuk melakukan pembredelan pers yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah;
6.     Partisipasi perempuan dalam politik semakin meningkat, misalnya dengan adanya ketentuan masing-masing partai politik peserta pemilu untuk memenuhi quota 30% calon legislatif dari perempuan.
7.     Adanya yudicial review oleh MK (Mahkamah Konstitusi) yang merupakan kewenangan MK untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan kewenangan lain seperti memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Kewenangan-kewenangan MK tersebut sangat penting untuk mencegah adanya lembaga negara yang dapat mendominasi lembaga negara yang lain (superbody) sehingga dapat untuk mengupayakan berkembangnya pengawasan dan penyeimbangan (check and balance).
8.     Berkembangnya lembaga kontrol terhadap pemerintah dari masyarakat/LSM, seperti: ICW, Kontras, Elsam, Cetro, dan lain-lain.

          Dengan melihat adanya kelembagaan politik dan upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintah sebagaimana digambarkan di atas, hal ini menunjukkan bahwa demokratisasi telah berkembang dalam kehidupan politik nasional. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk tidak memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan demokrasi Pancasila. Apresiasi itu dapat dilaksanakan misalnya, dengan memberikan penguatan terhadap proses demokratisasi dan berpartisipasi untuk mengatasi kendala yang dapat merusak penguatan demokratisasi. Apresiasi yang demikian sangat penting agar pengembangan demokrasi Pancasila, tidak mengalami kemunduran ke arah otoriterisme seperti pada masa sebelum era reformasi.






Partisipasi Politik Sesuai dengan Aturan

          Gabriel A. Almond (dalam Mochtar Mas’oed, 1981) salah satu pakar politik terkemuka membagi bentuk politik menjadi konvensional (yang lazim dipraktikkan dalam masyarakat) dan nonkonvensional (tidak lazim dipraktikkan dalam masyarakat). Ini berarti bentuk partisipasi politik konvensional pada umumnya merupakan bentuk partisipasi politik yang legal (sesuai dengan aturan) maupun yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat dan diterima sebagai sesuatu yang lazim meskipun tidak secara tegas diatur dalam aturan perundang-undangan yang ada. Dalam tabel kedua bentuk partisipasi politik itu dapat dilihat sebagai berikut:

Contoh Bentuk Partisipasi Politik Konvensional, al:
  1. Pemberian suara (voting);                           
  2. Diskusi politik;                                                               
  3. Kegiatan kampanye;                                              
  4. Membentuk dan bergabung                          
  5. dalam kelompok kepentingan;            
  6. Komunikasi individual denganpejabat politik dan administratif.            

                                                                                                                                                                                     
Contoh Bentuk Partisipasi Politik Nonkonvensional, al:
  1. Pengajuan petisi;
  2. Berdemonstrasi;
  3. Konfrontasi;
  4. Mogok;
  5. Tindak kekerasan politik terhadap harta benda (perusakan, pemboman, pembakaran);
  6. Tindak kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan);
  7. Perang gerilya dan revolusi.

  
Pemberian suara, merupakan bentuk partisipasi politik yang paling luas tersebar. Misalnya, dalam Pemilu 2004 di Indonesia jumlah pemilih terdaftar 148.000.369 (yang menggunakan hak 124.420.339 orang dan pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak 23.580.030); membutuhkan 2.194.155 kotak suara dan tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 565.286 buah; Bahkan pemberian suara terdapat di hampir semua sistem politik, baik yang demokratis maupun yang otoriter. Hanya saja pemberian suara dalam sistem politik otoriter, dimaksudkan hanya sekedar untuk legitimasi dan mempertahankan kekuasaan (status quo) dari pemerintah yang sedang berkuasa dan di bawah tekanan/intimidasi penguasa. Sehingga pemberian suara lebih merupakan mobilisasi dari penguasa, daripada atas dasar kesadaran/sukarela dari para pemilih. Sedangkan dalam sistem politik demokrasi pemberian suara dimaksudkan untuk melakukan perubahan, sesuai dengan masyarakat yang dinamis dan dilaksanakan atas dasar sukarela/tanpa paksaan.
          Diskusi politik, tukar pikiran tentang masalah-masalah publik (menyangkut kehidupan bersama), untuk dicarikan pemecahannya yang secara langsung berpengaruh terhadap kebijakan publik. Misalnya, diskusi mengenai masalah KKN, penggusuran PKL, pelanggaran HAM, Pilkada, Fungsi TNI, Fungsi Polri, kenaikan BBM, penegakkan hukum dan sebagainya.
          Kegiatan kampanye dalam pemilu, misalnya: mengikuti kampanye dialogis, mengikuti rapat umum partai, ikut menyebarkan bahan kampanye (poster, kaus, bendera) kepada umum, pemasangan alat peraga pemilu, dan kegiatan kampanye yang lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
          Membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan, misalnya: ikut membentuk organisasi sosial-keagamaan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan sebagai upaya memperjuangkan kepentingannya kepada pemerintah, menjadi anggota dari salah satu organisasi sosial-keagamaan. Sedangkan yang dimaksud mengadakan komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif, misalnya: mendatangi anggota parlemen untuk menyalurkan aspirasinya, mendatangi wali kota/bupati, camat, kepala dinas untuk menanyakan/mengusulkan sesuatu yang menyangkut masalah publik.
          Petisi dan demonstrasi seperti terlihat dalam tabel adalah masuk dalam bentuk partisipasi politik nonkonvensional, tetapi dalam perkembangannya di Indonesia kini telah diakui sebagai bentuk partisipasi politik konvensional. Petisi, merupakan pernyataan suatu kelompok mengenai pemikiran atau sikap tertentu yang disampaikan secara tertulis (surat) yang dikirim langsung ke parlemen dan/atau pemerintah, contoh: Petisi 50, Petisi ini didirikan tahun 1980 dengan tokoh terkemukanya Ali Sadikin, dan salah seorang penandatanganannya adalah A.H. Nasution, telah menulis lebih dari 170 surat kepada parlemen, pemerintah guna menyerukan reformasi politik (Cholisin, 2002). Demonstrasi, merupakan bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dilaksanakan dengan cara unjuk rasa. Unjuk rasa merupakan protes, terhadap berbagai kebijakan publik yang dirasakan atau dinilai tidak sejalan dengan kepentingan para demonstran atau kepentingan lebih umum/publik dengan cara-cara damai dan tertib. Misalnya, protes terhadap lambannya/kurang seriusnya pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pemerintah yang benar-benar bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dengan cara mendatangi istana kepresidenan, gedung parlemen, kantor gubernur dan bupati/wali kota.
          Konfrontasi, digolongkan sebagai bentuk partisipasi politik nonkonvensional, karena dalam memperjuangkan aspirasi dilakukan dengan cara-cara tidak mengindahkan pandangan dan hak pihak lain. Dengan kata lain pihak lain diposisikan sebagai lawan yang harus tunduk untuk mengabulkan aspirasinya. Jadi dalam konfrontasi tidak dikenal kompromi tetapi merupakan penaklukan. Tentunya, cara ini merupakan sesuatu yang tidak lazim dalam negara demokrasi.
          Mogok, merupakan partisipasi politik yang berisikan protes atau tuntutan terhadap suatu kebijakan publik tertentu. Misalnya, para mahasiswa melakukan mogok makan sebagai protes tindakan aparat keamanan yang menahan teman-temannya ketika melakukan demonstrasi dan akan mengakhiri mogok makan apabila para temannya dibebaskan. Contoh lain, para buruh suatu industri melakukan mogok kerja, sebagai protes karena gaji mereka dibawah UMR (Upah Minimum Regional), mereka akan mengakhiri mogok kerja sampai pemerintah daerah dapat menekan pengusaha untuk memenuhi gaji sesuai dengan UMR. Bentuk partisipasi politik dalam bentuk mogok, dapat mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan misalnya terganggungya kesehatan (seperti dalam kasus mogok makan), dan tidak lancarnya proses industri (seperti dalam kasus mogok kerja), sehingga dapat dinyatakan ada sisi-sisi yang dapat mengganggu ketertiban umum. Oleh karena itu, digolongkan pada bentuk partisipasi politik nonkonvensional. Namun dalam kenyataan empirik di Indonesia mogok sering muncul sebagai bentuk partisipasi politik.
          Tindak kekerasan politik, dapat berupa kekerasan terhadap harta dan manusia. Tindakan kekerasan politik pada umumnya bersifat episodik atau bahkan kronis. Di negara yang maju seperti Amerika Serikat, juga pernah terjadi kekerasan politik, seperti pembunuhan terhadap Presiden John F. Kennedy, Martin Luther King, Robert Kenedy, dan kerusuhan-kerusuhan berdarah yang lain. Yang termasuk tindak kekerasan politik, diantaranya adalah: (1) huru-hara (riot) yang merupakan demonstrasi dengan menggunakan kekerasan fisik seperti perusakan dan pembakaran. Kasus Mei 1998 di Indonesia dapat dimasukkan dalam huru-hara; (2) kudeta, yaitu pergantian kelompok penguasa secara mendadak dengan kekerasan atau tidak konstitusional. Kudeta dapat bersifat berdarah dan tak berdarah. Ciri kudeta adalah dilakukan sekelompok kecil, keputusannya secara rahasia, dan diorganisir secara gelap dan berkomplotan; (3) teror, merupakan tindakan berasal dari suatu kekecewaan atau keputus asaan, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman tak berkemanusiaan dan tak mengenal belas kasihan terhadap kehidupan dan barang-barang dan dilakukan dengan cara melanggar hukum.
          Perang gerilya dan revolusi Perang gerilya itu atau serangan bersenjata dimaksudkan untuk melemahkan atau menghancurkan kekuasaan kelompok lain, dengan jalan pertumpaha darah. Gerakan-gerakan separatis untuk memisahkan diri dari suatu negara dapat dicontohkan sebagai gerilya. Revolusi, merupakan kegiatan untuk melakukan perubahan drastis terhadap nilai-nilai dan sistem pemerintahan yang ditandai dengan kekerasan internal. Ciri umum revolusi menurut Edward dan Mayer adalah:
1.   Terdapat keresahan umum;
2.   Sifat buruk, dan tak bermoral, kebobrokan moral merajalela dalam masyarakat;
3.   Meluasnya frustasi, hidup tertekan, tidak menyenangkan, dan meningkatnya sifat tidak toleran;
4.   Tumbangnya suatu rezim lama;
5.   Suatu periode kacau balau;
6.   Terbentuk suatu orde yang baru atau sistem politik yang baru.
          Bentuk-bentuk partisipasi politik nonkonvensional tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dan sifatnya bertentangan dengan sendi-sendi demokrasi yang menjunjung HAM, menghormati aturan main, setiap keputusan bersama harus dilakukan dengan konsensus, perubahan yang terjadi harus tertib dan damai. Oleh karena itu, setiap warga negara harus menghindarkan diri untuk melakukan partisipasi politik nonkonvensional. Bentuk partisipasi politik nonkonvensional berkembang diantaranya karena faktor tidak responsifnya pemerintah atas aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Untuk itu, pemerintah juga harus mengembangkan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat. Dengan kata lain pemerintah harus konsisten mengembangkan sistem politik demokrasi. Begitu pula dalam kenyataan pemerintah juga sering melakukan tindakan kekerasan terhadap warga negaranya yang melakukan partisipasi politik secara konvensional, hal ini sering memicu tindakan kekerasan balasan dari masyarakat terhadap aparat pemerintah/keamanan. Oleh karena itu untuk menghindari hal ini, maka dalam menghadapi masalah politik perlu mengedepan-kan pendekatan persuasif (dialog atau penyadaran) daripada pendekatan represif (pelarangan dan penggunaan kekerasan fisik), yang memang merupakan model pendekatan yang dituntut dalam negara demokrasi.




= Baca Juga =



1 Comments

Previous Post Next Post

Social Media