
Di benak Van Imhoff-Iah muncul gagasan kolonisasi Jawa di
benak Van Imhoff - dan ia segera melaksanakannya dengan kolonisasi kawasan
sekitar Batavia, dan kemudian meluas ke daerah Priangan. Pada 20 Agustus 1742,
ia memulai ekspedisinya yang diikuti oleh dua orang anggota Raad van Indie
(Dewan Hindia), seorang dokter, seorang juru ukur tanah, dan seorang pendeta.
Ekspedisi ini dikawal sepasukan grenadiers VOC yang dipimpin oleh
seorang letnan kolonel.
Ekspedisi ini mencapai Kampung Baru pada 23 Agustus 1742.
Van Imhoff jatuh cinta Pada suasana asri alam pegunungan di kawasan itu, dan
menandai kawasan itu dengan nama Buitenzorg (pada saat itu masih dieja sebagai
Buyten Sorg, yang berarti: tanpa peduli, atau without worrydalam bahasa
Inggris, sans sauci dalam bahasa Prancis). Bahkan pada saat itu ia
sudah bercita-cita untuk membangun rumah peristirahatan bergaya puri di situ.
Dua hari kemudian rombongan Van Imhoff tiba di Cisarua. Di
tempat sejuk ini Dokter Jordens menyetujui rencana sang Gubernur Jenderal untuk
mendirikan rumah sakit VOC. Dari sana rombongan terus mendaki ke arah Puncak.
Pada sore hari mereka tiba di sebuah sumber air panas yang menyembur di bawah
sebatang pohon karet munding. Cipanas yang berarti air panas dalam bahasa
Sunda, dicatat Van Imhoff sebagai lokasi yang berjarak 24 paal dari
Buitenzorg. Ia segera berhasrat membangun sebuah rumah tetirah di tempat itu.
Bahkan ia langsung mengutus juru ukur untuk membuat peta dan mematok kapling
untuk bangunan yang dicita-citakannya.
Dalam tahun itu juga, rumah tetirah di Cipanas itu mulai
dibangun. Tukang-tukang kayu didatangkan khusus dari Tegal dan Banyumas,
artisan yang dikenal rajin dan rapi garapannya. Sketsa dasar bangunannya dibuat
sendiri oleh Van Imhoff. Vila itu selesai empat tahun kemudian. Selama masa
pembangunan itu, Van Imhoff sering datang menengok, sekaligus untuk berendam
air panas. Dokter pribadinya bahkan menyarankan untuk minum air dari sumber itu
- yang diketahui mengandung belerang dan zat besi -dicampur dengan susu karena
mempunyai khasiat penyembuhan.
Di situ pula Van Imhoff mulai ketagihan pijat. Orang-orang
Tegal yang membangun rumah tetirah itu ternyata membawa seorang juru pijat yang
cantik. Ketika juru pijat ini hamil Van Imhoff segera mempermandikannya menjadi
Protestan, dan memberinya nama Helena Pieters. Sekalipun tidak dinikahi, Helena
melahirkan tiga anak Baron Van Imhoff.
Di vila Cipanas itu pulalah Van Imhoff meninggal pada tahun
1750, setelah sakit selama dua bulan. Jenazahnya dimakamkan di Tanahabang,
Jakarta, dengan upacara kebesaran militer. Selain dikenal sebagai pembangun
Puri Buitenzorg, rumah sakit Cisarua, dan vila Cipanas, Van Imhoff juga dikenal
jasanya karena mendirikan Academie de Marine di Kalibesar Barat, menempati
sebuah bangunan yang kelak bernama Toko Merah.
Van Imhoff tampaknya cukup mempunyai selera arsitektur yang
baik. Bangunan rumah tetirah di tempat yang tingginya 1100 meter dari muka laut
itu hampir seluruh konstruksinya - dari lantai hingga atap - dibangun dari
bahan kayu jati. Elemen besi cor juga dipakai sebagai penguat dan ragam hias
bangunan. Dalam perkembangannya kemudian, beberapa lantai dan dinding
direnovasi dengan bahan batu dan batako. Renovasi itu menghilangkan desain asli
bangunan yang berkonsep rumah panggung.
Hingga sekarang pun pengunjung Istana Cipanas dapat segera
merasakan keunikan arsitekturnya. Gaya dasarnya adalah rumah musim panas Eropa,
tetapi dengan penguatan arsitektur tropis yang menyiratkan adanya keinginan
untuk menampilkan nuansa Jawa Barat.
Ketika rumah tetirah itu dibangun, tentunya Van Imhoff tidak
membayangkan bahwa dua setengah abad kemudian jalan di depan puri itu akan
teramat ramai. Menurut catatan lama, bangunan ini bahkan tidak tampak dari
jalan, terlindung di balik pepohonan tinggi ketika pertama kali dibangun dulu.
Sumber air panasnya sendiri yang menjadi alasan utama pendirian rumah tetirah
itu berada lebih dari seratus meter di belakang bangunan induk.
Ketika Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur
Inggris, ia menempatkan beberapa ratus orang di Cipanas untuk berkebun apel,
bunga dan sayur, beternak sapi dan ayam, serta bekerja di penggilingan padi.
Hasil produksi Cipanas ini - daging, susu, buah, sayur, padi, dan bunga -
dikirim ke Buitenzorg dan Batavia untuk memenuhi kebutuhan para pejabat. Para pekerja
itu ditempatkan di barak-barak yang dibangun tidak jauh dari rumah tetirah.
Raffles sebenarnya mengikuti jejak Gubernur Jenderal Hindia - Belanda Daendels
yang memulai sistem pengadaan pangan dari daerah penyangga.
Vila Cipanas ini tidak pernah dianggap sebagai puri resmi.
Tidak semua Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pernah menggunakan vila ini untuk
tetirah - khususnya pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19. Perjalanan
dari Batavia atau Buitenzorg dengan menunggang kuda mendaki ke Cipanas merupakan
tantangan yang tidak terlalu menarik bagi para Gubernur Jenderal. Jaringan
kereta api Batavia Buitenzorg baru mulai dioperasikan pada 1864.
Pada pertiga awal abad ke- 20, vila Cipanas pernah berfungsi
sebagai tempat tinggal keluarga tiga Gubernur Jenderal: Andreas Cornelis De
Graeff, Bonifacius Cornelis De Jonge, dan Tjarda Van Starkenborgh-Stachouwer.
Hingga kini, bufet dan kandelabra peninggalan StarkenborghStachouwer, Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda yang terakhir, masih terdapat di sana.
Di masa pendudukan Jepang, para pemimpin tentara dan
pembesar Jepang yang memang gemar berendam air panas selalu singgah di Cipanas
dalam perjalanan antara Jakarta dan Bandung.
Secara garis besar, bangunan induk yang dibangun Van Imhoff
itu hingga kini masih kelihatan hampir seperti saat pertama selesai dibangun.
Serambi depannya yang cukup luas itu ditutup dengan jendela-jendela kaca lebar
pada kiri-kanannya untuk menahan tiupan angin dingin. Lantai serambi
ditinggikan sekitar dua meter dari permukaan tanah, membuatnya terkesan lebih
anggun.
Bangunan induk ini mempunyai beberapa ruang tidur, ruang
kerja, ruang rias, (sekarang menjadi ruang duduk), ruang makan, dan serambi
belakang yang lebih luas daripada serambi depan. Dari serambi belakang ini
tersaji pemandangan lereng gunung Gede dan Pangrango yang asri. Ruang makannya
yang luas juga berfungsi sebagai ruang pertemuan.
Ketika vila Cipanas makin banyak dipakai, pada 1916
Pemerintah menambahkan tiga bangunan di sekeliling bangunan induk.
Paviliun-paviliun itu sekarang. bernama Arjuna, Yudhistira, dan Bima. Bagian
belakang bangunan induk juga diperpanjang untuk mementaskan berbagai kesenian.
Berbagai bangunan ditambahkan lagi pada era Republik
Indonesia setelah penetapan rumah tetirah di Cipanas itu sebagai Istana Presiden.
Presiden Sukarno cukup banyak memanfaatkan Istana Cipanas,
terutama sebagai tempat mencari inspirasi bagi pidato-pidatonya, terutama untuk
peringatan kemerdekaan pada 17 Agustus. Suasana damai dan sejuk Cipanas
bagaikan magnet yang mampu menarik semua gagasan yang tersimpan dalam benak
Sukarno ke atas kertas. Di Istana Cipanas inilah Presiden pertama itu
melangsungkan akad nikah dengan Ibu Hartini pada 1953.
Pada 1954, Bung Karno memerintahkan pembangunanan sebuah
studio terpencil di salah satu puncak bukit dalam lingkungan Istana Cipanas
sebagai tempat merenung. Puncak bukit itu dipilihnya karena merupakan sebuah
titik tempat orang dapat memandang Gunung Gede pada pagi hari dengan jelas,
sebelum kabut kemudian menutupi puncaknya.
Dua orang arsitek-R.M. Soedarsono dan F. Silaban -
bersama-sama menggarap desain studio itu. Hasilnya adalah sebuah bangunan
sederhana dari bahan dasar batu kali dan menonjolkannya sebagai ragam hias.
Karenanya, gedung itu hingga sekarang disebut Gedung Bentol karena bentol-bentol
batu kali yang diekspos, baik pada dinding maupun pada lantai luar bangunan.
Selain meja dan kursi kerja, hanya ada sebuah meja rendah,
sebuah lemari, dan sebuah dipan kecil di dalam studio ini. Di lemari itu masih
tersimpan salah satu mantel yang dulu sering digunakan Bung Karno.
Menurut cerita beberapa staf yang masih mengingat masa itu,
Bung Karno biasanya datang pagi-pagi ke Gedung Bentol dengan membawa
bahan-bahan untuk menulis. Pelayan menyediakan segelas kopi, segelas teh,
segelas air, dan hidangan ringan ala kadarnya seperti pisang rebus, singkong
rebus, kacang rebus. Sepanjang pagi, Presiden Sukarno bisa duduk diam menulis
di dalam studionya tanpa merepotkan siapa-siapa. Bila sedang asyik menulis, ia
bahkan sering minta santapan siangnya dibawakan ke Gedung Bentol.
Lahan Istana Cipanas yang naik-turun ini membuatnya menarik
untuk melakukan jalan- jalan santai, lari-lari, atau berkuda mengelilingi
kompleks. Di kompleks Istana Cipanas kini tersedia lapangan tenis, lapangan
bermain untuk kanak-kanak, kolam pemancingan ikan, kolam renang, dan tentu saja
juga kolam untuk berendam di air panas. Di dekat sumbernya dibangun tempat
berendam khusus untuk Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan di depannya
dibangun sebuah bangunan panjang untuk para pejabat tinggi negara menikmati
sumber air panas belerang itu.
Bentangan seluruh lahan Istana terdiri dari taman istana dan
hutan istana ibarat kebun raya yang memiliki ribuan pohon dan tumbuhan dari
170-an jenis.
Pada 1983, Pemerintah menambahkan dua bangunan baru, yakni
paviliun kembar Nakula dan Sadewa yang berpendapa. Arsitek kedua bangunan itu
adalah Siti Iswari, pegawai Rumah Tangga Kepresidenan. Selain gedung induk,saat
ini terdapat 22 bangunan di kompleks Istana Cipanas. Bangunan-bangunan itu
antara lain adalah perkantoran, mesjid, perumahan karyawan, dan poliklinik.
Pada masa Presiden Soeharto, kursi-kursi ukiran Jepara pun
ditambahkan di berbagai ruang Istana Cipanas, digabungkan dengan perabotan
tinggalan lama. Namun demikian, lukisan-lukisan dan patung-patung yang
dikoleksi Bung Karno masih merupakan hiasan utama interior dan eksterior Istana
Cipanas, misalnya saja karya-karya Lee Man Fong, Theo Meier, Batara Lubis,
Basoeki Abdullah, Rustamadji, Russel Flynt, Rudolf Bonnet, Dullah, dan S.
Sudjojono.
Tampaknya, Istana Cipanas justru populer bagi beberapa wakil
presiden. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah,
Sudharmono, dan Try Soetrisno adalah para Wakil Presiden yang sering berkunjung
ke sini. Pak Umar sering menggunakan Istana Cipanas selama libur Idul Fitri.
Pak Try hampir selalu menggunakannya setiap pergantian tahun. Acara-acara
keluarga seperti itu selalu meriah dihadiri oleh keluarga-keluarga besar
mereka. Presiden Soeharto dan Presiden Habibie hanya sesekali saja bermalam di
Istana Cipanas.
.
|
Tetapi, Presiden Megawati justru sering berkunjung ke sana,
terutama untuk menanam berbagai pepohonan di kompleks Istana yang luas itu.
Kegemaran Ibu Mega akan tanaman khususnya pohon buah-buahan - menemukan lahan
yang cocok di Istana Cipanas.
Sebagai tempat tetirah, Istana Cipanas memang tidak banyak
berperan sebagai tempat kejadian-kejadian bersejarah. Namun, di sinilah
Presiden Sukarno pada 13 Desember 1965 mengadakan sidang kabinet untuk
memutuskan perubahan nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Kebijakan ini pada
waktu itu populer dengan sebutan "sanering" (istilah ini tidak
ditemukan dalam kamus bahasa Belanda maupun Inggris). Ini merupakan
"sanering" yang kedua setelah sebelumnya pada 1950 Pemerintah - dalam
program Kabinet Hatta untuk memperbaiki ekonomi rakyat - memangkas nilai Rupiah
hingga setengahnya.
Meskipun Istana Cipanas tidak dirancang untuk menerima tamu
negara, Ratu Juliana dari Belanda pernah singgah di sini pada 1971.
Pada tanggal 14-17 April 1993, Istana Cipanas juga menjadi
tempat bagi pertemuan damai bagi faksi-faksi Filipina yang bertikai. Atas
inisiatif Presiden Soeharto, Menteri Luar Negeri Ali Alatas memimpin
perundingan antara Pemerintah Filipina dan kelompok MNLF (Moro National
Liberation Front) yang dipimpin oleh Nur Misuari. Semua delegasi menginap di
kompleks istana Cipanas.
Istana Cipanas akan selalu berfungsi sebagaimana maksud
pendirinya lebih dari dua setengah abad yang lalu, yakni sebagai tempat tetirah
untuk menyegarkan raga dan pikiran bagi para penyelenggara tertinggi
pemerintahan negara.