Bila dibandingkan dengan istana
- istana kepresidenan yang berada di tengah kota besar yang sibuk atau di
pinggir jalan raya yang ramai di Pulau Jawa, Istana Tampaksiring tampak
istimewa. Ia bukan hanya terpencil sendiri di Pulau Bali, tapi juga seakan-akan
mengawasi seluruh kedamaian lanskap pulau itu. Memandang ke arah selatan dari
salah satu sudut Istana, akan tampaklah jalan yang raya yang menghubungkan
pantai barat dengan Singaraja di pantai timur. Ke arah utara pada pagi hari
cerah, terlihat Gunung Batur, dan sedikit ke arah timur, Gunung Agung
menjulang.
Istana Tampaksiring istimewa
karena ia adalah satu-satunya Istana yang dibangun pada masa kemerdekaan.
Agaknya, Presiden Soekarno telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan
bentangan tanah di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar
itu. Matahari yang terbit dari belakang Gunung Agung, Pura Tirta Empul dengan
kolam pemandiannya, hamparan teras sawah nun di bawah sana, juga suara
sayup-sayup tetabuhan gamelan yang dibawa desir angina - semua itu telah
menarik hati Bung Karno sejak menjejakkan kaki di sana.
Bung Karno menggagas pendirian
sebuah kediaman presiden di Tampaksiring karena dengan semakin eratnya
perhubungan dengan dunia - Indonesia mulai menerima banyak tamu negara yang banyak
pula di antaranya yang menyatakan minat untuk mengunjungi Bali.
Sang presiden memang piawai
memilih tempat-tempat yang akan dipakainya sebagai rumah hunian atau rumah
tetirah. Untuk menentukan lokasi tanah bagi rumah kediaman pribadinya di
kawasan Batutulis, Bogor, misalnya, ia menggunakan helikopter untuk memilih
hamparan tanah yang mempunyai hadapan terbaik ke arah Gunung Salak. Namun Bung
Karno tidak lagi memerlukan helikopter pada saat memilih lokasi tapak di
Tampaksiring itu sebagai tempat untuk membangun Istana Kepresidenan. Dalam
beberapa kali kunjungannya ke Bali sebelum 1955, ia sudah sering bermalam di
rumah tetirah milik Raja Gianyar di Tampaksiring. Pada masa Raja Gianyar V dan
VI, pesanggrahan itu banyak dimanfaatkan oleh para tamu asing, khususnya
pejabat pemerintah Hindia - Belanda. Para orang tua di desa itu masih ingat
bagaimana pesanggrahan itu tiba-tiba bersinar terang dengan cahaya lampu
petromaks bila Bung Karno datang ke sana. Pada masa-masa awal kunjungannya ke
Tampaksiring, selain ketiadaan listrik, Bung Karno juga masih menyaksikan
betapa sulitnya orang memikul air mendaki lereng terjal untuk mencukupi
kebutuhan di pesanggrahan.
Dari depan pesanggrahan itu,
kolam pemandian Pura Tirta Empul hanya terpisahkan oleh tebing curam setinggi
50 meter. Dinding-dinding bukit seperti itulah yang barangkali merupakan asal
nama Tampaksiring - dalam bahasa Bali berarti "telapak yang miring:'
Menurut hikayat yang tercatat pada lontar Usana, Tampaksiring bermula dengan
kisah Raja Mayadenawa yang sakti. Sifatnya yang angkara murka membuat Batara
Indra mengirim balatentara untuk menangkapnya. Mayadenawa pun lari ke hutan
dengan memiringkan telapak kakinya agar tidak dikenali jejaknya. la juga
menciptakan sumber air beracun yang menyebabkan kematian balatentara
pengejamya. Batara Indra kemudian menciptakan mata air lain sebagai penawar
racun, yang kemudian dikenal sebagai Tirta Empul - berarti air umbul-umbul -
yang hingga kini dianggap sebagai tempat suci bagi umat Hindu Bali. Hikayat itu
dilukiskan dalam relief batu paras yang menghiasi salah satu dinding Istana
Tampaksiring.
Bung Karno juga menyukai
beberapa pura yang terlihat magis di sekitar pesanggrahan Tampaksiring. Selain
Pura Tirta yang berada di Tirta Empul, persis di bawah pesanggrahan terdapat
Pura Tegeh dan Pura Puca di tengah hutan di belakang Tirta Empul, serta Pura
Gunung Kawi yang tidak seberapa jauh dari pesanggrahan.
Kecintaan Bung Karno kepada
pesanggrahan Tampaksiring membuat Raja Gianyar kemudian menyerahkan lahan
pesanggrahan itu kepada negara. Pada 1955, Presiden Soekarno memerintahkan
arsitek R.M. Soedarsono membuat rancang-bangun untuk Istana Kepresidenan di
sana.
Pembangunan Istana Tampaksiring
dipersiapkan pada 1956 oleh Jawatan Pekerjaan Umum. Soedarsono sendiri adalah
seorang arsitek di jawatan itu. Bangunan Wisma Merdeka mulai didirikan pada
1957 - di atas lahan pesanggrahan Raja Gianyar yang dirobohkan - di bawah
pengawasan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Seksi Gianyar, Tjokorda Gde Raka.
Berbeda dengan
bangunan-bangunan Istana Kepresidenan yang dibangun pada masa penjajahan
Belanda, Istana Tampaksiring menonjolkan ciri keindonesiaan yang hangat. Tidak
ada pilar-pilar besar yang menampilkan kesan keagungan dan kekuasaan duniawi.
Rancang-bangunnya sangat fungsional, menonjolkan kesederhanaan dan fungsinya
sebagai wisma peristirahatan. Batu-batu alam dan batubata halus khas Bali
sengaja ditonjolkan untuk menciptakan corak kedaerahan. Ukiran batu paras dan
tiang-tiang kayu gaya Bali teras a padu dalam konsep arsitektumya, bukan sebagai
elemen tambahan yang ditempelkan.
Konstruksi beton digunakan
untuk menerjemahkan rancang-bangun yang menuntut bentangan-bentangan lebar.
Semua bahan kayu jati serta bahan-bahan bangunan lainnya - kecuali pasir dan
batubata - didatangkan dari Jawa. Adapun elemen artistiknya - ukiran kayu dan
batu-dikerjakan oleh para seniman Bali.
Bung Karno sendiri memberi
banyak masukan pada rancang-bangun Istana Tampaksiring yang cirinya kemudian
menjadi unsur pengikat bagi bangunan-bangunan kepresidenan yang dibangun pada
masanya. Paduan wama oranye muda - versi lembut dari wama natural batubata -
dan abu-abu yang dipilih Bung Karno juga merupakan elemen kesamaan yang seakan
tidak lekang oleh zaman. Beberapa bangunan yang mempunyai ciri arsitektur
serupa adalah rumah pribadi Bung Karno di Batutulis, Bogor; Pesanggrahan
Pelabuhan Ratu; dan Wisma Dyah Bayurini di kompleks Istana Bogor.
Salah satu dari arsitektur dari
bangunan-bangunan Istana karya Soedarsono adalah penggunaan pipa-pipa sebagai
susuran (railing) di beberapa teras. Sekilas tampak seperti susuran kapal,
sebetulnya pipa-pipa itu juga berfungsi sebagai saluran air.
Pembangunan Istana Tampaksiring
juga mempertimbangkan kondisi sosial lingkungan sekitar. Sebelum bangunan
Istana didirikan, dibuatlah sebuah pusat kesehatan masyarakat dan pos polisi di
Desa Manukaya. Unit pembangkit listrik yang dibangun khusus untuk Istana pun
ikut dinikmati oleh masyarakat sekitar.
Tidak hanya terlibat dalam
rancang-bangun, Bung Karno yang insinyur sipil itu juga banyak ikut serta dalam
pelaksanaan konstruksi. Ia beberapa kali berkunjung ke Bali untuk melihat
kemajuan pembangunan Istana Tampaksiring. Misalnya, ia cepat melihat ketika
sebuah papan lis sepanjang 25 meter temyata tidak lurus terpasang.
Kadang-kadang ia juga melakukan sejumlah perubahan kecil terhadap
rancang-bangun secara langsung di lokasi.
Wisma Merdeka adalah bagian
Istana yang merupakan hunian bagi Presiden dan keluarganya. Bangunan yang
sangat luas ini mempunyai sebuah ruang tidur utama yang tidak seberapa luas,
serta beberapa ruang tidur bagi anggota keluarga dan dokter pribadi Presiden.
Ruang makan dan ruang tamu adalah bagian - bagian yang terluas di Wisma Merdeka
ini.
Di belakang Wisma Merdeka
berdiri bangunan yang lebih besar, yaitu Wisma Negara. Kedua Wisma ini terpisah
oleh lembah yang dihubungkan dengan sebuah jembatan yang membentang sekitar 20
meter di atas lembah. Jembatan berarsitektur khas ini merupakan salah satu sisi
fotogenik di lingkungan Istana Tampaksiring. Jembatan dengan konstruksi beton
lengkung yang cantik ini diberi nama Jembatan Persahabatan karena menghubungkan
Wisma Merdeka yang dihuni oleh Presiden Republik Indonesia dan Wisma Negara
yang diperuntukkan para kepala negara sahabat.
Wisma Merdeka dan Wisma Negara
merupakan dua bangunan di kompleks Istana Tampaksiring yang paling banyak
menampilkan ciri arsitektur Bali. Beberapa bagian kedua wisma itu memakai
dinding teterawangan, yaitu tembok dengan ukiran timbul dan berlubang khas
Bali. Juga banyak dijumpai elemen arsitektur dari ukiran kayu yang dicat dengan
nuansa wama biru dan emas. Sedangkan atapnya terbuat dari sirap dengan pasangan
biasa seperti pada perumahan kota - tanpa anjungan yang megah tetapi bukan pula
seperti bubungan atap rumah Bali.
Suasana khas Bali meliputi
setiap tamu negara yang memasuki halaman. Berbeda dari penyambutan tamu agung
di Istana Merdeka yang biasanya disertai dengan kemegahan upacara militer di
dekat tangga istana, tamu negara di Istana Tampaksiring disambut dengan upacara
kebesaran tradisional setelah mobilnya memasuki Candi Bentar. Sang tamu
biasanya disambut dengan tari pendet - ucapan selamat datang dengan gerak-gerak
lincah enam gadis penari - yang kemudian diikuti dengan taburan bunga ke arah
sang tamu dan jalan yang hendak dilaluinya.
Salah seorang tamu negara pada
1957, Raja Thailand Bhumibol Adulyadey dan permaisurinya, Ratu Sirikit, yang
berkunjung ke Bali terpaksa menginap di Wisma Merdeka yang belum sepenuhnya
rampung ketika itu. Wisma Negara, bagian untuk tamu negara, baru dibangun pada
tahap kedua dan selesai pada 1963. Sejak itu, berbagai kepala negara dan kepala
pemerintahan negara-negara sahabat tercatat pemah bertetirah di Istana
Tampaksiring. Mereka antara lain adalah Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia),
Presiden Ho Chi Minh (Vietnam), Perdana Menteri Jawaharlal Nehru (India),
Perdana Menteri Nikita Kruschev (Uni Soviet), Ratu Juliana dan Pangeran Bemhard
(Belanda), Putra Mahkota Akihito dan Putri Michiko (Jepang), Presiden Ne Win
(Birma), Pangeran Norodom Sihanouk (Kamboja), clan Sekretaris Jenderal PBB
Javier Perez de Cuellar.
Untuk melayani Presiden dan
tamu-tamu negara secara memuaskan, pada awalnya penyelenggaraan layanan untuk
Istana Tampaksiring dilaksanakan melalui kerja sama dengan Bali Beach Hotel,
hotel bertaraf internasional pertama di Bali. Di kemudian hari, pelayanan di
semua Istana Kepresidenan dilaksanakan sendiri oleh pegawai Rumah Tangga
Kepresidenan yang kemudian berubah nama menjadi Sekretariat Presiden. Dari
semua Istana Presiden, Istana Tampaksiring kini mempunyai fasilitas dapur dan laundry yang
setara dengan hotel berbintang lima.
Agak jauh terpisah dari kedua
Wisma ini adalah Wisma Yudhistira untuk para menteri dan pejabat tinggi negara,
serta Wisma Bima untuk para pengawal dan petugas keamanan.
Salah satu bangunan yang tidak
sempat diselesaikan pada masa Presiden Sukarno adalah Balai Wantilan atau
pendapa yang sepenuhnya dibangun mengikuti arsitektur tradisional Bali.
Bangunan ini beratap ilalang, dan tiang-tiangnya dari batang kelapa. Sesuai
dengan perkembangan zaman dan pertimbangan keamanan, tiang-tiang dari batang
kelapa ini kemudian diganti dengan tiang beton yang mirip dengan bentuk batang
kelapa. Dinding bagian belakangnya dihiasi dengan relief batu paras, yang
menggambarkan kisah Ramayana. Balai Wantilan ini difungsikan sebagai tempat
untuk pergelaran kesenian. Panggungnya dihiasi dengan latar belakang Candi
Bentar dan dua patung kayu Garuda Wisnu.
Sebuah lapangan pendaratan
helikopter juga dibangun di seberang Wisma Merdeka, sesuai dengan kegemaran
Bung Karno menggunakan helikopter setiap kali berkunjung ke Tampaksiring.
Sebagai penyayang tanaman, Bung Karno dulu selalu meminta agar beberapa staf
Istana memegangi pohon-pohon bougainville yang ditanam di dekat tempat
pendaratan agar tidak rusak didera angin pusaran dari baling-baling helikopter.
Sentuhan pribadi Bung Karno
juga sangat kental terasa pada berbagai elemen keindahan Istana Tampaksiring.
Beberapa petugas Istana masih ingat betul betapa Bung Karno sangat terlibat
dalam memilih jenis pohon yang akan ditanam serta di mana tepatnya pohon itu
ditempatkan. Petugas-petugas taman diminta untuk memancangkan tiang bambu di
tempat sebuah pohon akan ditanam. Bung Karno mengamati letak tiang bambu itu
dari berbagai penjuru. Kadang-kadang, ia memerlukan waktu beberapa hari sebelum
menyetujui letak pohon baru yang akan ditanam. Sebagai seorang insinyur, ia
juga selalu memperhitungkan letakan pohon berdasar proyeksi ketika nantinya tumbuh
menjadi besar.
Demikian pula ketika jika akan
membuat kolam, Bung Karno biasanya meminta seutas tali panjang yang dipakainya
untuk membentuk garis tepi kolam yang akan dibangun. Dengan tali itu ia
membentuk kolam-kolam yang hingga kini menghiasi Istana Tampaksiring.
Penempatan lukisan dan patung pun tidak lepas dari campur tangan Bung Karno.
Di hamparan pekarangan Istana
Tampaksiring terdapat banyak pohon-pohon rindang, terutama beringin dan leci.
Tiap bulan Desember, pohon-pohon leci di Istana Tampaksiring seperti juga
pohon-pohon leci lainnya di Pulau Bali-menyuguhkan buahnya yang lebat dan
lezat.
Bung Karno pun sering membawa
bibit pohon bila pulang dari perjalanan muhibahnya ke luar negeri atau daerah-daerah
Indonesia lainnya. Bibit pohon kembang saputangan yang ditanam di depan Wisma
Merdeka dibawa oleh Bung Karno ketika berkunjung ke Istana Malacanang di
Filipina. Begitu cintanya Bung Karno pada tumbuh-tumbuhan sehingga pada masa
itu ada ketentuan untuk membuat berita acara bila ada pohon yang tumbang atau
rusak di lingkungan Istana Kepresidenan.
Beberapa pohon lain di Istana
Tampaksiring juga merupakan oleh-oleh dari para pejabat negara. Kepala Staf
Angkatan Darat Jenderal TNI Ahmad Yani, misalnya, membawa bibit tiga pohon
cemara dari Irian Barat yang ditanam di dekat jembatan lengkung. Pohon itu
untuk mengenang Operasi Trikora membebaskan Irian Barat dari pendudukan
Belanda.
Sejak pertengahan 1990-an, di
hamparan hijau yang luas itu juga tampak beberapa ekor rusa merumput. Rusa-rusa
ini didatangkan khusus dari Istana Bogor untuk menambah semarak Istana
Tampaksiring.
Bung Karno jugalah yang secara
pribadi mengisi Istana Tampaksiring dengan koleksi lukisan dan benda seni yang
sangat kaya. Koleksi benda-benda seni itu antara lain diwakili oleh karya-karya
pematung Bali yang terkenal, Cokot, serta pelukis-pelukis kenamaan seperti Le
Mayeur, Rudolf Bonnet, Dullah, Sudarso, dan Agus Djaja. Di Istana Tampaksiring
juga ditemui sebuah karya langka Rudolf Bonnet berupa lukisan pemandangan.
Bonnet biasanya melukis sosok manusia.
Kecintaan Bung Karno kepada
Bali, khususnya Istana Tampaksiring yang merupakan buah gagasannya, barangkali
tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa ia sendiri. mempunyai garis darah
Bali. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang
didatangkan dari Jawa oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk mengajar di Bali.
Pada saat berdinas di Banjar Bale Agung, Buleleng, itulah Soekemi jatuh hati
pada Nyoman Rai Sarimben. Dari pasangan ini, lahirlah Sukarno pada 6 Juni 1901.
Bung Karno sendiri memang
selalu dikenal mudah akrab dengan siapa saja khususnya dengan orang-orang di
sekitarnya. Di Istana Bogor atau di Istana Cipanas misalnya, ia sengaja
berbahasa Sunda dengan para staf Istana untuk menciptakan suasana keakraban.
Bung Kamo yang lama tinggal di Bandung semasa mahasiswa, dan pernah menikah
dengan putri Parahiangan Ibu Inggit Garnasih, tentu saja cukup fasih berbahasa
Sunda. Dengan masyarakat di sekitar Istana TampaKsiring pun Bung Karno terkenal
sangat akrab. Pernah pada suatu hari ia turun ke Tirta Empul
dan membagi-bagi sabun mandi kepada semua orang yang sedang mandi di sana. Bung
Karno juga sering duduk minum kopi sambil menikmati jajanan yang disuguhkan
masyarakat
Desa Manukaya setiap kali ia
berkunjung ke rumah-rumah penduduk. Dalam kunjungan informal seperti itu ia selalu
membawa sesedikit mungkin pengawal.
Istana Tampaksiring pada masa
Bung Karno merupakan tempat yang terbuka bagi masyarakat. Di dekat pintu masuk,
misalnya, Bung Karno mengizinkan lapangannya dipakai oleh masyarakat desa untuk
bermain sepak bola. Masyarakat pun bebas melintasi kompleks Istana menuju ke
Tirta Empul untuk melakukan ibadah dan upacara-upacara keagamaan. Sekarang bahkan
dibuatkan koridor yang merupakan jalan pintas khusus menyusuri lembah bagi
masyarakat Desa Manukaya untuk meneapai Tirta Empul.
Tak urung Bung Karno selalu
merasa berada di rumah sendiri setiap kali ia bertetirah di Tampaksiring.
Suasana itu pula yang agaknya membuat Bung karno kemudian melakukan tradisi
menulis naskah-naskah pidato kenegaraan di Istana Tampaksiring. Pada
tahun-tahun terakhir kedudukannya sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno selalu
membawa "pekerjaan rumah" menulis pidato kenegaraan ke Tampaksiring.
Kadang-kadang ia mengucilkan dirinya dan menyendiri selama berhari-hari di
ruang kerjanya yang keeil untuk mencari ilham dan merumuskan pikirannya.
Beberapa staf Istana
Tampaksiring masih ingat betapa mudahnya melayani Bung Karno dalam proses
kreatif semaeam itu. Mereka cukup menyediakan minuman dan jajanan di meja.
Untuk makan siang dan malam,
Bung Karno sudah puas dengan hidangan sederhana sayur lodeh singkong dan belut
goreng. Beberapa dari mereka juga ingat Bung Karno mengatakan bahwa kamar
kerjanya yang sempit di Istana Tampaksiring mengingatkannya pada sel di penjara
Sukamiskin dulu, tempat ia juga produktif menulis dokumen-dokumen politik.
Renovasi interior yang
dilakukan pada tahun 2003 telah meningkatkan kenyamanan Istana Tampaksiring
sesuai dengan gaya hidup modern tanpa meninggalkan konsep desain aslinya. Semua
kamar mandi di Wisma Merdeka dan Wisma Negara, misalnya, diubah agar sesuai
dengan standar kamar mandi hotel berbintang lima. Tetapi, mebel bergaya art
deco yang dihadirkan Bung Kamo di Istana Tampaksiring - dan sempat
digudangkan pada masa Presiden Soeharto - sekarang kembali menghiasi Istana
Tampaksiring.
Tatanan di ruang tidur utama di
Wisma Merdeka, hingga kini masih belum berubah. Di kepala tempat tidur masih
tergantung lukisan Dullah - yang menggambarkan pemandangan Gunung Batur - yang
dulu ditempatkan sendiri oleh Bung Karno. Mebel-mebel di kamar itu pun masih
sesuai dengan aslinya, kecuali dipan pijat di kamar mandi yang dulu dipakai
Bung Karno - sekarang telah dikeluarkan.
Ruang kerja kecil di sebelah
ruang tidur Presiden pun dikembalikan pada bentuk aslinya ketika digunakan Bung
Karno untuk menulis pidato-pidato kenegaraan. Di situ tergantung lukisan Agus
Djaja yang menggambarkan seorang putri sedang dilayani dayang-dayangnya.
Istana Tampaksiring adalah
rumah tetirah kepresidenan yang juga dipakai untuk pertemuan-pertemuan informal
bernuansa politik, ataupun yang kemudian menghasilkan keputusan-keputusan
politik. Di Istana ini, Presiden Ne Win dari Burma melakukan perundingan dengan
Presiden Soeharto pada 1982. Pertemuan informal antara Menteri Luar Negeri Ali
Alatas dan Presiden Taiwan Lee Teng-hui pernah pula terjadi di sini untuk
membicarakan berbagai isu strategis hubungan Indonesia-Taiwan.
Pada masa Presiden Megawati
didirikan gedung konferensi yang diberi nama Graha Bung Karno. Mengejar
penyelenggaraan KTT ASEAN pada tahun 2003, pembangunannya dikerjakan
siang-malam oleh 500 tenaga kerja selama kurang lebih enam bulan. Desainnya
dibuat oleh Kris Danubrata, dengan relief wajah Bung Karno dari samping pada
dinding utama. Di gedung yang dapat menampung 300 undangan jamuan santap inilah
para pemimpin ASEAN itu menghasilkan Bali Accord.
Bila Balai Wantilan yang baru
selesai dibangun di sisi Gedung Konferensi, Gedung Wantilan lama akan
dibongkar, sehingga tidak lagi menghalangi tampak depan Gedung Konferensi. Di
bekas lahan itu akan didirikan patung Bung Karno, sesuai dengan penamaan gedung
itu sebagai Graha Bung Karno.
Penyelenggaraan KTT ASEAN pada
2003 itu pula yang mendorong percepatan renovasi interior di hampir seluruh
bagian Istana Tampaksiring. Selain itu juga dilakukan penataan ulang lukisan
-lukisan dan benda-benda seni di kompleks Istana.
Lukisan-Iukisan terbaik Ida
Bagus Made Poleng yang sempat dibawa keluar Istana Tampaksiring, misalnya,
sekarang telah kembali ke tempat asalnya.
Seluruh pekerjaan renovasi
Istana semasa Presiden Megawati ini dilaksanakan oleh Departemen Pemukiman dan
Prasarana Wilayah dan dipimpin langsung oleh Menteri Ir. Sunarno. Hal ini
bagaikan mengulangi sejarah-hampir setengah abad sebelumnya, pembangunan Istana
Tampaksiring dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum.
Istana Tampaksiring juga
merupakan Istana yang paling dicintai Presiden Megawati. Ia bisa menghabiskan waktu
seharian penuh melampiaskan kesukaannya berkebun di halaman Istana yang luas.
Ketika mengetahui bahwa beberapa pohon kamboja tua di Bali yang sudah berusia
seratus tahun lebih mulai diincar oleh pembeli dari mancanegara, ia segera
berusaha mencegahnya dengan cara membelinya. Pohon-pohon kamboja yang batangnya
sebesar pelukan orang dewasa sekarang sudah menghiasi halaman belakang Istana
Tampaksiring.
Hampir dalam setiap
kunjungannya, Presiden Megawati membawa berbagai pohon buah-buahan dari Jakarta
untuk ditanam di Tampaksiring. Untuk membantunya merancang lanskap Istana
Tampaksiring, Ibu Mega juga mempekerjakan seorang ahli lanskap dari Jerman. Ini
mengulangi pengalaman masa lalu akan kehadiran non-birokrat untuk melaksanakan
penataan Istana Presiden Republik Indonesia yang dulu pernah dilakukan Bung
Karno ketika mempekerjakan tiga orang pelukis Istana - Dullah, Lee Man Pong,
dan Lim Wa Sim. Demikian pula, Presiden Megawati menunjuk seorang non-birokrat,
Kris Danubrata ke dalam lingkungan Istana Presiden untuk menata ulang seluruh
interior istana dan melakukan pembenahan aset -aset seni yang sangat berharga.
Ciri yang menonjol di kompleks
Istana Tampaksiring ini adalah ruang-ruang antara sangat Iuas yang memisahkan
bangunan satu dengan lainnya. Bentangan luas lahan yang berbukit itu
benar-benar dimanfaatkan secara penuh untuk menampilkan keasrian Tampaksiring
dan keanggunan Istana Kepresidenan.
Adapun jalan aspal di bawah
Jembatan Persahabatan dipergunakan oleh masyarakat untuk mencapai kolam Tirta
Empul Setiap tahun ribuan penduduk datang untuk menyucikan diri di sana. Kolam
utama Tirta Empul sendiri tidak boleh dipakai untuk mandi dan hanya bisa
diziarahi oleh orang yang berpakaian adat Bali. Di tengah air kolam yang jernih
itu terlihat pasir mengepul, yang terdorong oleh pancaran dari sumber air.
Sedangkan sebuah pemandian yang terletak beberapa meter dari kolam utama selalu
dipergunakan masyarakat setiap hari, tetapi puncaknya adalah hari raya Galungan
(Hari Kemenangan Kebenaran) dan Saraswati (Hari Pendidikan). Dengan menuruni
lebih dari seratus anak tangga, kompleks Tirta Empul dapat dicapai langsung
dari Wisma Merdeka.
Masyarakat boleh juga melewati
jalan di pekarangan utara Istana ketika ada upacara adat
di Tirta Empul, yaitu ketika
iring-iringan yang menjunjung persembahan itu tidak boleh lewat di bawah
Jembatan agar tak dilangkahi orang yang lewat di situ. Ini adalah juga ciri
khas Istana Tampaksiring yang berbeda dari kelima istana yang lain: yaitu bahwa
Istana ini bukanlah lambang kekuasaan melainkan eratnya hubungan antara rakyat
dengan sang Presiden.
Pada malam bulan purnama
kedamaian terasa mencapai puncaknya di lingkungan Istana Tampaksiring. Bulan
bundar di langit bersih dan angin sepoi membawa alunan seruling dan gamelan
dari upacara keagamaan di Pura Tirta Empul.
No comments