Selain
banyak yang terlupakan, beberapa episode dalam pembahasan Undang-Undang Dasar
Indonesia dalam rapat BPUPKI dan PPKI juga masih ada yang menjadi misteri.
Salah
satunya adalah mengenai alasan apa yang membuat Bung Hatta hingga sangat
bersemangat melakukan lobi sebelum rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) untuk mencabut "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta.
"Yang
kami tahu, Bung Karno dan Bung Hatta beda sikap. Sukarno enggan mengutak-atik
lagi isi Piagam Jakarta karena merupakangentleman's agreement dari para
tokoh bangsa dan disahkan secara aklamasi dalam rapat BPUPKI. Sikap Bung Karno
ini dapat dimengerti sebab rumusan yang ada di dalam Piagam Jakarta itu
merupakan hasil lobinya selama semalam suntuk dengan para tokoh dari kalangan
nasionalis dan Islam," kata Lukman Hakiem, mantan anggota DPR dan penulis
berbagai buku sejarah sekaligus juga mantan staf pribadi mendiang perdana
menteri pertama RI M Natsir, Senin (20/6).
Menurut
Lukman, memang selepas proklamasi kemerdekaan dibacakan, pada hari Jumat tanggal
17 Agustus 1945 sampai menjelang dibukanya sidang PPKI pada 18 Agustus 1945,
atas inisiatif Mohammad Hatta ada lobi untuk mengubah keputusan Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengenai rancangan Undang-Undang
Dasar, utamanya kalimat dalam preambul: "Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
"Maka
kami sekarang bertanya mengapa Hatta berinisiatif mengubah keputusan BPUPK yang
menurut Bung Karno merupakan kompromi yang sebaik-baiknya antara golongan
kebangsaan dengan golongan Islam itu?" kata Lukman.
Soal
Telepon dari Pembantu Admiral Maeda
Menurut
Lukman, memang ada sebuah kisah yang sangat populer mengenai betapa
bersemangatnya Hatta mementahkan keputusan BPUPK, yaitu karena pada sore hari
tanggal 17 Agustus 1945 dia menerima telepon dari Nishiyama, pembantu Admiral
Maeda. Isi telepon itu menanyakan kesediaan Hatta menerima opsir Kaigun
(Angkatan Laut) yang akan mengemukakan hal penting bagi Indonesia.
"Hatta
mengatakan, Nishiyama nanti akan menjadi penerjemah. Dari perwira Angkatan Laut
Jepang itu—yang aku lupa namanya—Hatta mendapat informasi bahwa pencantuman
kata-kata 'dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya'
menyebabkan mereka yang beragama Kristen (Protestan dan Katolik) di daerah
Kaigun di Indonesia timur merasa didiskriminasi dalam negara baru yang akan
dibentuk kalau tujuh kata-kata itu tetap tercantum dalam Undang-Undang
Dasar," ujar Lukman.
Menurut
perwira Angkatan Laut Jepang itu, kalangan Nasrani lebih suka berdiri di luar
Republik Indonesia kalau tujuh kata tersebut dipertahankan.
"Hatta
terpengaruh oleh informasi tersebut. Keesokan harinya, sebelum sidang PPKI
dimulai, Hatta memanggil anggota PPKI yang dapat dianggap wakil-wakil umat
Islam untuk membicarakan kembali rumusan 'Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'," kata Lukman.
Maka,
lajutnya, hasil lobi mendadak Hatta itu mewujud diubahnya rumusan ketentuan di
preambul (atau sila pertama Pancasila--Red) “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Selain
itu, syarat presiden dan wakil presiden beragama Islam juga dihapus. Syaratnya
cukup hanya orang Indonesia asli saja.
"Namun,
syarat Indonesia asli pun di zaman reformasi kemudian dicoret juga dari aturan
yang ada di dalam Undang-Undang Dasar," ujar Lukman Hakiem.
‘Tujuh
Kata’ di Piagam Jakarta Kembali Dipersoalkan Setelah Proklamasi Dibacakan
Menurut
Lukman, meski rumusan "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta oleh para
tokoh bangsa telah disepakati secara aklamasi dalam rapat BPUPKI pada 22 Juni
1945 itu, ternyata diam-diam masih ada pihak yang tetap mempersoalkan
tercantumnya tujuh kata itu dalam Mukadimah UUD 1945, yakni Laturharhy dkk.
"Maksudnya
saya tidak bermaksud seperti apa yang disebut Mr Mohamad Roem, 'menangisi susu
yang sudah tumpah'. Namun, kami pun hanya bertanya, benarkah pada tanggal 17
Agustus 1945 sore Bung Hatta menerima perwira Angkatan Laut Jepang dari
Indonesia timur? Inilah pertanyaannya. Sebab, fakta yang muncul kemudian koktidak
bersesuaian,’’ ungkap Lukman.
Lukman
kemudian menyebut bahwa pada tahun 1997 Penerbit Universitas Indonesia
meluncurkan sebuah buku berjudul Lahirnya Satu Bangsa dan Negara disusun
oleh OE Engelen, Aboe Bakar Loebis, F Pattiasina, Abdullah Ciptoprawiro,
Soejono Joedodibroto, Oetarjo, dan Idris Siregar.
Buku
yang diberi kata sambutan oleh Presiden Soeharto itu merupakan edisi revisi
dari buku Mahasiswa ’45 Prapatan 10: Pengabdiannya I yang terbit pada
1984.
"Prapatan
10 adalah lokasi asrama mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) yang
dicatat sejarah karena keberaniannya melawan perintah balatentara Jepang untuk
menggunduli kepala. Rumah itu adalah tempat berkumpulnya kader mahasiswa
sosialis yang dipimpin Syahrir," ujar Lukman.
Dalam
buku Lahirnya Satu Bangsa dan Negara halaman 89-90 tersebut
diceritakan kedatangan sejumlah anggota PPKI dari luar Jawa, terutama Indonesia
bagian timur, antara lain Dr Sam Ratulangi dari Sulawesi, Mr Latuharhary dari
Maluku, dan Mr I Ketut Pudja dari Bali, datang ke Asrama Prapatan 10 pada 17
Agustus 1945 siang setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan
Timur 56.
"Jadi
ketika para tokoh bangsa yang beragama Islam sesuai pembacaan proklamasi pergi
melakukan ke masjid untuk melakukan shalat Jumat, Latuharhary dkk itu ternyata
mengadakan pertemuan di Asrama Prapatan 10. Maka di situ muncul keinginan untuk
mencabut tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945 yang memakai rumusan Piagam
Jakarta," kata Lukman.
Kepada
para mahasiswa Ika Daigaku, para anggota PPKI itu menyampaikan keberatan jika
dalam preambul Undang-Undang Dasar masih ada kalimat “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan mengusulkan
perubahan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Usul perubahan itu mendapat
perhatian serius dari para mahasiswa.
Maka,
lanjut Lukman, para mahasiswa itu pun segera mengontak Bung Hatta melalui
telepon. Bung Hatta setuju untuk membicarakan keberatan dan usul perubahan itu
pada tanggal 17 Agustus. Mereka sepakat bertemu pada sore hari, yakni sekitar
pukul 17.00 WIB di rumah Bung Hatta.
Bung
Hatta Salah Kira Iman Slamet itu Opsir Jepang?
Maka
untuk menjelaskan persoalan tersebut, tiga orang diutus menghadap Bung Hatta
sore itu. Isinya, menyampaikan alasan perubahan yang dikemukakan wakil-wakil
dari Indonesia timur. Ketiga utusan mahasiswa itu ialah Piet Mamahit, Moeljo,
dan Imam Slamet yang berpakaian seragam Angkatan Laut Jepang, sehingga orang
mengiranya orang Jepang.
"Wajah
Imam Slamet seperti orang Cina, badannya pendek, jadi mirip seperti orang
Jepang," ujar Lukman.
Terkait
soal pertemuan tersebut, dalam buku Lahirnya Satu Bangsa dan Negara juga
tercatat: “Lama kemudian ketika Nishijima--yang menurut Hatta
meneleponnya--berkunjung ke Jakarta, ia menerangkan bahwa tidak ada orang
Jepang, juga dia sendiri, yang datang kepada Hatta untuk membicarakan soal
itu. Sejak Proklamasi, tidak ada lagi orang Jepang pergi bertamu di rumah
Hatta.”
"Jadi
dalam pertemuan dengan utusan mahasiswa dari Prapatan 10 dengan Bung Hatta itu
tak ada orang Jepang yang ikut. Bung Hatta salah sangka mengira Imam Slamet
sebagai orang Jepang," ungkap Lukman.
Namun
sayangnya, tegas Lukman, memoar para aktivis mahasiswa Ika Daigaku yang berisi
keterangan tentang peristiwa penting di sekitar hilangnya tujuh kata tersebut
terbit beberapa tahun sesudah Bung Hatta wafat sehingga tokoh yang dikenal
jujur dan cermat itu tidak bisa melakukan klarifikasi.
Maka
peristiwa 18 Agustus 1945 beserta suasana yang menjadi latar belakang sebagian
di antaranya masih tetap menjadi misteri dan pertanyaan sejarah sampai
sekarang.
"Misteri
yang sama juga ada pada soal pidato M Yamin di sidang BPUPKI yang juga
mengungkap soal dasar negara. Sebagian tokoh seperti Bung Hatta mengatakan
bohong bila Yamin berpidato seperti itu. Namun, ketika pada awal 1960-an Yamin
menerbitkan risalah sidang BPUPKI yang memuat pidatonya itu, Bung Karno memberikan
kata pengantarnya secara langsung. Di satu sisi, ini menunjukkan Bung Karno
membenarkan apa yang ditulis Yamin itu. Jadi, itu juga menjadi misteri,"
kata Lukman.
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/selarung/suluh/16/06/21/o945ls385-hatta-opsir-jepang-dan-pencabutan-tujuh-kata-di-piagam-jakarta
Tags:
BahanAjar