Pengertian Gotong Royong
Soekarno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan satu substansial dasar negara dengan 3 versi, yaitu: Pancasila, Trisila dan Ekasila (Penetapan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi - Ir Soekarno). Pancasila terdiri dari ketuhanan (religiositas), kemanusiaan (humanitas), persatuan (nasionalitas), kerakyatan (soverenitas), dan keadilan sosial (sosialitas). Trisila terdiri dari sosionasionalisme, sosiodemokrasi dan ketuhanan. Sementara ekasila dimaknai sebagai gotong royong. Soekarno menyebutnya, “Dari Pancasila bisa diperas menjadi Ekasila.” Jadi gotong royong itu sebenarnya adalah Pancasila juga.
Soekarno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan satu substansial dasar negara dengan 3 versi, yaitu: Pancasila, Trisila dan Ekasila (Penetapan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi - Ir Soekarno). Pancasila terdiri dari ketuhanan (religiositas), kemanusiaan (humanitas), persatuan (nasionalitas), kerakyatan (soverenitas), dan keadilan sosial (sosialitas). Trisila terdiri dari sosionasionalisme, sosiodemokrasi dan ketuhanan. Sementara ekasila dimaknai sebagai gotong royong. Soekarno menyebutnya, “Dari Pancasila bisa diperas menjadi Ekasila.” Jadi gotong royong itu sebenarnya adalah Pancasila juga.
Seandainya
hanya satu prinsip yang diminta, Soekarno mengatakan harus digali dari tujuan
membangun Indonesia, yaitu “semua untuk semua.” Harus dicatat bahwa Indonesia
didirikan bukan hanya untuk orang jawa saja atau untuk umat muslim saja, tapi
Indonesia buat Indonesia. Kata yang diusulkan adalah kata Indonesia asli:
gotong royong (Soekarno: Bapak Bangsa Indonesia - MM Darmawan, 2005).
Pengertian dan Makna Gotong Royong
Kita
sebagai makhluk sosial membutuhkan sesamanya dalam mencapai kesejahteraan yang
baik. Tak dapat dipungkiri bahwa gotong royong merupakan aset budaya yang harus
senantiasa dijaga dan menjadi pola sikap masyarakat. Gotong royong pun mampu
menciptakan suasana yang harmonis antara masyarakat yakni seringnya
masyarakat intens menjalin silatuhrami, melakukan kerjasama maka,
terjalinlah solidaritas dari itu dapat menumbuhkan rasa simpati dan empati
masyarakat sehingga menjadi alat perekat untuk memperkuat dan mempererat
hubungan mayarakat, bila dimanfaatkan dapat menjadi senjata yang ampuh dalam
menghadapi pembangunan nasional. Berawal dari itu, masyarakat sudah memiliki
rasa saling memiliki serta rasa memerlukan satu sama lain berlanjut pada
kepedulian terhadap sesama dan lingkungan, apabila kita sambungkan dapat
merujuk pada sifat nasionalisme yang kita butuhkan pada zaman globalisasi
sekarang ini.
Pengertian Gotong royong adalah
kerja sama antara sejumlah warga masyarakat untuk menyelesaikan sesuatu atau
pekerjaan tertentu yang dianggap berguna untuk kepentingan bersama. Gotong
Royong dapat juga diartikan prinsip kerja sama, saling membantu tanpa
imbalan lansung yang diterimanya yang hasilnya untuk kepentingan bersama /
kepentingan umum. Gotong royong merupakan budaya bangsa Indonesia yang
dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat sesuai dengan kegiatan
masing-masing.
Tak
pelik dalam kehidupan masyarakat Indonesia, istilah gotong royong menempati
posisi terhormat sekaligus membumi. Nenek moyang kita dulu sudah mengenal
gotong royong itu sehingga dulu negara kita adalah negara yang sejahtera karena
nilai gotong royong itu sendiri. Begitupun sejarah telah mencatat bahwa proses
lahirnya bangsa (melalui sumpah pemuda 1928) hingga proses lahirnya
negara (melalui Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945) merupakan hasil dari
gotong royong dari segenap komponen bangsa. Presiden Sukarno menggunakan
istilah gotong royong sebagi kata lain Ekasila yang merupakan perasan lanjutan
dari Trisila setelah sebelumnya merupakan hasil peras dari Pancasila. Pada era
Orde baru, kata gotong royong juga sering dijadikan kata kunci dalam rangka
mensukseskan program-program pembangunan. Hal itu menyatakan bahwa gotong
royong itu sudah mendarah daging bagi bangsa Indonesia sehingga gotong royong
dapat dikatakan sebagai karakteristik atau ciri khas budaya bangsa Indonesia.
Menurut
Garnaut dan Mcawley, sejak Indonesia mengalami kemerdekaan pada tahun 1945,
interaksi sosial yang dimiliki bangsa Indonesia bersifat kolektif, konsensual,
dan kooperatif. Sifat interaksi sosial berlangsung dalam masyarakat Indonesia
saat itu berpengaruh kuat terhadap pembentukan karakter bangsa dan budaya.
Serangkaian istilah yang melekat dengan budaya Indonesia yaitu koperasi,
musyawarah, dan gotong royong.
Pengaruh Prinsip Gotong
Royong Terhadap Pembangunan
Dalam
khazanah kehidupan masyarakat Indonesia, istilah “gotong royong”
menempati posisi terhormat sekaligus membumi. Terhormat karena istilah tersebut
sering dijadikan kata kunci oleh para tokoh bangsa untuk menggalang dukungan
terhadap suatu gagasan. Presiden Sukarno menggunakan istilah gotong royong
sebagai kata lain Ekasila yang merupakan perasan lanjutan dari Trisila setelah
sebelumnya merupakan hasil peras dari Pancasila.
Bung
Karno pernah berpidato tentang pentingnya gotong royong: ….Sebagaimana tadi
yang telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua
harus mendukungnya. Semua bagi semua! Bukan Kristen untuk Indonesia, bukan
golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van
Hoek buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tapi Indonesia
buat Indonesia –semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima (Pancasila)
menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan
Indonesia yang tulen, yaitu “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong-royong!
Dalam
pidatonya yang lain Bung Karno menyebutkan: “Gotong royong” adalah paham yang
dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan” saudara-saudara! Kekeluargaan adalah
satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu
amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu
karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini
bersama-sama! Gotong royong adalah membanting tulang bersama, pemerasan
keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan
semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat
kepentingan bersama! Itulah gotong royong! Rakyat itu semua harus digotong-royongkan
dalam perjuangan raksasa ini!
Pada
era Orde Baru, kata gotong royong
juga sering dijadikan kata kunci dalam
rangka mensukseskan program-program pembangunan. Betapapun besar
anggaran yang disediakan negara melalui APBN bila tanpa
didukung semangat kebersamaan bernama gotong
royong dalam membangun dan memelihara hasil
pembangunan, tentulah program itu tidak akan
berjalan secara efektif dan efisien.
Di
era pemerintahan Megawati Sukarnoputri, gotong royong bahkan digunakan sebagai
nama kabinet. Lebih jauh M. Nasroen, salah seorang pelopor
kajian filsafat Indonesia menyatakan bahwa
Gotong royong merupakan salah satu dasar filsafat
Indonesia.
Melalui
gotong royong biaya hidup dan kegiatan pembangunan menjadi lebih
murah dan efisien. Bilamana bisa dihitung biaya untuk perlindungan umum
dan lain-lain dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara
bergotong royong, bisa jadi jumlahnya lebih besar dari APBN.
Ada
salah satu contoh desa yang berhasil mengimplementasikan prinsip gotong royong
dalam peningkatan perekonomian warganya, yaitu Desa Tutul, Kecamatan Balung, di
Kabupaten Jember, Jawa Timur. Desa tersebut berhasil mengantar desanya yang
miskin menjadi desa wirausaha berkat prinsip gotong royong yang mampu mengolah
anggaran Desa sehingga menghasilkan laba, bukan justru habis tidak berbekas.
Karena prestasinya, Desa Tutul sampai disebut desa tanpa pengangguran, karena
hampir seluruh warganya mampu bekerja mandiri.
Bekerja
sebagai perajin menjadi kehidupan mereka sehari-hari di samping mengurus sawah
atau kerja lainnya. “Pada waktu-waktu tertentu saat sawah tak bisa digarap,
ibu-ibu hingga pemuda membuat macam-macam kerajinan. Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi pada 2012 juga menetapkan Desa Tutul sebagai desa produktif
karena mampu mandiri dan membuka peluang kerja tidak hanya di Desa Tutul,
tetapi juga desa lain.
Saat
ini, Desa Tutul juga menjadi desa binaan dari perusahaan-perusahaan BUMN.
Perusahaan-perusahaan memberikan kredit untuk modal bagi perajin kecil untuk
memperbesar usahanya sebagai bagian dari rasa tanggung jawab sosial.
Pemerintah
Kabupaten Jember turut mendukung usaha mikro, kecil, menengah seperti yang ada
di Tutul. Bupati Jember MZA Djalal menilai pariwisata dan UMKM mampu
menggerakkan ekonomi rakyat. Pada 2013, Pemkab mengalokasikan anggaran Rp 5,39
miliar melalui koperasi dan usaha kecil memengah serta Rp 4,1 miliar lewat pos
Dinas Perindustrian untuk memperkuat UMKM di Jember. Diharapkan desa-desa lain
pun bisa mengikuti jejak Desa Tutul.
Implementasi Prinsip
Gotong Royong Sebagai Wujud Nyata Semangat dan
Komitmen Kolektif Kebangsaan
Prinsip
kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam kehidupan bernegara nampak dalam kehidupan
ekonomi, sosial dan politik. Dalam Dalam
kehidupan ekonomi terlihat dari makna pasal 33 ayat 1 UUD Negara Republik
Indonesa tahun 1945 menyatakan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan”. Hal ini berarti dalam kegiatan usaha ekonomi
digunakan prinsip kerjasama, saling membantu dalam suasana demokrasi ekonomi
untuk mencapai kesejahteraan bersama secara adil
Selanjutnya
Pasal 33 ayat (2) dan (3) menyatakan : (2) Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3)
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (2)
dan (3) diatas menegaskan bahwa perekonomian di Indonesia sebesar-besarnya ditujukan
untuk kemakmuran rakyat.
Badan
usaha atau lembaga ekonomi yang dibentuk untuk melaksanakan pasal 33 UUD 1945
yaitu:
a.
Koperasi
b.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
c.
Usaha Swasta (wiraswasta) seperti CV atau PT
Bila
kita kaitkan dengan pasal 33 ayat (1) UUD 1945, maka bentuk perusahaan yang
paling sesuai ialah Koperasi, karena koperasi merupakan suatu badan usaha yang
melaksanakan usahanya didasarkan atas azas kekeluargaan.
Gotong
royong dalam kehidupan sosial politik dapat kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sejak dulu dalam
kehidupan sosialnya sudah terbiasa hidup dalam suasana gotong royong.
Masyarakat akan saling bantu dan hampir semua kepentingan masyarakat di desa
dibangun oleh masyarakat itu sendiri secara bergotong royong.
Dalam
bidang sosial gotong-royong ini hampir ditemui di kelompok-kelompok masyarakat
Indonesia atau suku-suku bangsa Indonesia. Misalnya hasil penelitian
Koentjaraningrat (dalam Budimansyah, 2000) di wilayah Bagelen Jawa Tengah
kegiatan gotong royong itu terlihat dalam kegiatan-kegiatan sebagaiberikut:
1.
Waktu
ada peristiwa kematian atau kecelakaan, dimana orang dating untuk memberi
pertolongan ataupun layadan.
2.
Waktu
seluruh penduduk desa turun untuk
mengerjakan pekerjaan yang sifatnya untuk kepentingan umum (desa) yang lajim
disebut gugurgunung, seperti memperbaiki jalandesa,lumbungdesa dan lain-lain.
3.
Waktu
seorang warga desa mengadakan pesta dan tetangga berdatangan untuk membantu.
Kegiatan ini dinamakan sambatan atau njurungan
4.
Waktu-waktu
tertentu dimana makam nenek moyang desa
perlu dibersihkan, kegiatan ini dinamakanrerukun alur waris.
5.
Waktu
seorang penduduk perlu mengerjakan sesuatu untuk tempat tinggal (membongkar
atap, mendirikan rumah baru) dan tetangga berdatangan membantu. Kegiatan ini
dinamakan sambatan.
6.
Waktu
kegiatan yang berhubungan dengan pertanian, baik membetulkan saluran air maupun
panenan. Kegiatan ini dinamakan kerubutan tau grojogan
7.
Waktu
ada keperluan desa yang sifatnya tidak langsung berhubungan dengan kepentingan
umum, misalnya pekerjaan yang menjadi tugas kepala desa namun penduduk turun
membantunya. Kegiatan ini disebut keregan
Dalam
kehidupan politik sila keempat Pancasila menempatkan begitu pentingnya nilai
gotong royong dijadikan landasan kehidupan politik. Pancasila sila keempat yang
berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Perilaku politik harus didasari nilai hikmat,
kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan. Hal itu semua merupakan bagian
dari gotong royong.
Sila
keempat Pancasila pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan terus
memelihara dan mengembangkan semangat bermusyawarah dalam perwakilan. Bangsa
Indonesia akan tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan demokrasi. Bangsa
Indonesia akan memelihara serta mengembangkan kearifan dan kebijaksanaan dalam
bermusyawarah.
Permusyawaratan
memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi
paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan
dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya “kesederajatan/persamaan
dalam perbedaan”.
Permusyawaratan
adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan/atau
memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak rakyat, hingga tercapai keputusan
yang berdasarkan kebulatan pendapat atau mufakat. Perwakilan adalah suatu
sistem dalam arti tata cara (prosedur) mengusahakan turut sertanya rakyat
mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan dengan
melalui badan-badan perwakilan.
Hikmat kebijaksanaan merefleksikan tujuan sebagaimana dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.
Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalisme dan keadilan bukan hanya berdasarkan subjektivitas dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan dan golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elite penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas. Sila Keempat ini juga merupakan suatu asas, bahwa tata pemerintahan Republik Indonesia didasarkan atas kedaulatan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Atas dasar tersebut, disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat.
Hikmat kebijaksanaan merefleksikan tujuan sebagaimana dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.
Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalisme dan keadilan bukan hanya berdasarkan subjektivitas dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan dan golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elite penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas. Sila Keempat ini juga merupakan suatu asas, bahwa tata pemerintahan Republik Indonesia didasarkan atas kedaulatan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Atas dasar tersebut, disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat.
Tags:
BahanAjar