Apa Bentuk Negara Indonesia ? Jawabannya tentu Negara Kesatuan atau lebih dikenal dengan istilah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Lalu apa makna kesatuan bagi bangsa Indonesia?.
A. Bentuk Negara Berdasarkan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Sebagaimana disebutkan
dalam Bab I,
pasal 1 UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”.
Ini berarti bahwa
Organisasi Pemerintahan Negara
Republik Indonesia bersifat unitaris, walaupun
dalam penyelenggaraan pemerintahan
kemudian terdesentralisasikan.
Sejalan dengan hal
tersebut, maka Negara
kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan provinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota. Pembagian daerah
ke dalam provinsi,
kemudian kabupaten, kota
dan desa tentunya tidak
dimaksudkan sebagai pemisahan
apalagi pemberian kadulatan sendiri. Pada
dasarnya bentuk organisasi
pemerintahan negara adalah
unitaris, namun dalam penyelenggaraan pemerintahan
dapat saja diakukan
pendelegasian urusan
pemerintahan atau kewenangan
kepada pemerintahan provinsi, kabupaten/kota maupun desa.
B. Makna Kesatuan dalam Sistem Penyelenggaraan
Negara
Sebagai sebuah
negara kesatuan (unitary
state), sudah selayaknya
dipahami benar makna “kesatuan” tersebut. Dengan memahami secara benar
makna kesatuan, diharapkan seluruh komponen
bangsa Indonesia memiliki
pandangan, tekat, dan mimpi
yang sama untuk
terus mempertahankan dan
memperkuat kesatuan bangsa dan negara.
Filosofi dasar
persatuan dan kesatuan
bangsa dapat ditemukan
pertama kali dalam kitab
Sutasoma karya Mpu
Tantular. Dalam kitab
itu ada tulisan
berbunyi “BhinnekaTunggal
Ika tan hana
dharma mangrwa”, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu, tak ada
kebenaran yang mendua”. Frasa inilah yang kemudian diadopsi sebagai semboyan
yang tertera dalam lambing negara Garuda Pancasila.
Semangat kesatuan
juga tercermin dari
Sumpah Palapa Mahapatih
Gajahmada. Sumpah ini berbunyi: Sira Gajah
Mahapatih Amangkubhumi tan
ayun amuktia palapa, sira
Gajah Mada: "Lamun
huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun,
ring Seran, TaƱjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahan dari sumpah
tersebut kurang lebih adalah: Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin
melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya
(baru akan) melepaskan
puasa. Jika mengalahkan
Gurun, Seram, Tanjung Pura,
Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, demikianlah saya (baru
akan) melepaskan puasa".
Informasi tentang
Kitab Sutasoma dan
Sumpah Palapa ini
bukanlah untuk bernostalgia ke
masa silam bahwa
kita pernah mencapai
kejayaan. Informasi ini penting
untuk menunjukkan bahwa
gagasan, hasrat, dan
semangat persatuan sesungguhnya
telah tumbuh dan berkembang dalam akar sejarah bangsa Indonesia. Namun dalam
alam modern-pun, semangat
bersatu yang ditunjukkan
oleh para pendahulu bangsa terasa
sangat kuat.
Jauh sebelum
Indonesia mencapai kemerdekaannya, misalnya,
para pemuda pada tahun 1928 telah
memiliki pandangan sangat visioner dengan mencita-citakan dan mendeklarasikan diri
sebagai bangsa yang
betbangsa dan bertanah
air Indoensia, serta berbahasa
persatuan bahasa Indonesia.
Pada saat itu,
jelas belum ada bahasa
persatuan. Jika pemilihan
bahasa nasional didasarkan
pada jumlah penduduk terbanyak
yang menggunakan bahasa
daerah tertentu, maka bahasa Jawa-lah yang
akan terpilih. Namun
kenyataannya, yang terpilih
menjadi bahasa persatuan adalah
bahasa Melayu. Hal
ini menunjukkan tidak
adanya sentimen kesukuan atau
egoisme kedaerahan. Mereka
telah berpikir dalam
kerangka kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi, kelompok, atau
golongan. Dengan demikian,
peristiwa Sumpah Pemuda
tanggal 28 Oktober
1928 adalah inisiatif original dan
sangat jenius yang
ditunjukkan oleh kalangan
pemuda pada masa
itu. Peristiwa inilah yang membentuk dan merupakan kesatuan psikologis
atau kejiwaan bangsa Indonesia.
Selain kesatuan kejiwaaan
berupa Sumpah Pemuda tadi, bangsa Indonesia juga terikat oleh
kesatuan politik kenegaraan
yang terbentuk dari
pernyataan kemerdekaan yang dibacakan
Soekarno-Hatta atas nama rakyat
Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Sejak
saat itulah Indonesia
secara resmi menjadi
entitas politik yang merdeka, berdaulat, dan berkedudukan sejajar dengan
negara merdeka lainnya.
Makna kesatuan
selanjutnya adalah kesatuan
geografis, teritorial atau kewilayahan. Kesatuan
kewilayahan ini ditandai
oleh Deklarasi Juanda
tanggal 13 Desember 1957
yang menjadi tonggak
lahirnya konsep Wawasan Nusantara. Dengan adanya
Deklarasi Juanda tadi,
maka batas laut
teritorial Indonesia mengalami perluasan
dibanding batas teritorial
sebelumnya yang tertuang
dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939 (Ordinasi
tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) peninggalan Belanda. Deklarasi
Juanda ini kemudian pada tanggal 18 Februari
1960 dalam Undang-Undang
No. 4/Prp/1960 tentang
Perairan Indonesia. Konsep Wawasan
Nusantara sendiri diakui
dunia internasional pada tahun
1978, khususnya pada
Konferensi Hukum Laut
di Geneva. Dan
puncaknya, pada 10 Desember 1982 konsep Wawasan Nusantara diterima dan
ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut
Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau
lebih dikenal dengan UNCLOS
(United Nations Convention
on the Law
of the Sea),
yang kemudian dituangkan dalam
Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS Dengan penegasan
batas kedaulatan secara
kewilayahan ini, maka
ide kesatuan Indonesia semakin
jelas dan nyata.
Konsep kesatuan
psikologis (kejiwaan), kesatuan
politis (kenegaraan) dan kesatuan geografis (kewilayahan) itulah
yang membentuk “ke-Indonesia-an” yang utuh, sehingga keragaman suku bangsa,
perbedaan sejarah dan karakteristik daerah, hingga keanekaragaman bahasa
dan budaya, semuanya
adalah fenomena ke-Indonesia-an yang
membentuk identitas bersama
yakni Indonesia. Sebagai
sebuah identitas bersama, maka
masyarakat dari suku Dani
di Papua, misalnya,
akan turut merasa memiliki
seni budaya dari
suku Batak, dan
sebaliknya. Demikian pula,
suku Betawi dan Jakarta
memiliki kepedulian untuk
melestarikan dan mengembangkan tradisi dan
pranata sosial di
suku Dayak di
Kalimantan, dan sebaliknya.
Hubungan harmonis seperti ini
berlaku pula unruk
seluruh suku bangsa
di Indonesia. Ibarat tubuh
manusia, jika lengan
dicubit, maka seluruh
badanpun akan merasa
sakit dan turut berempati
karenanya.
Dengan demikian,
Indonesia adalah melting pot
atau tempat meleburnya berbagai
keragaman yang kemudian
bertransformasi menjadi identitas baru
yang lebih besar
bernama Indonesia. Indonesia
adalah konstruksi masyarakat modern
yang tersusun dari
kekayaan sejarah, sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan
ideologi yang tersebar
di bumi nusantara.
Gerakan separatisme atau upaya-upaya kearah
disintegrasi bangsa, adalah
sebuah tindakan ahistoris yang bertentangan
dengan semangat persatuan dan kesatuan tersebut.
Disamping kesatuan
psikologis, politis, dan
geografis diatas, penyelenggaraan pembangunan nasional
juga harus didukung
oleh kesatuan visi.
Artinya, ada koherensi antara
tujuan dan cita-cita
nasional yang termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945 dengan
visi, misi, dan sasaran strategis yang dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) Nasional,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Nasional, Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP)
Daerah, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Daerah,
hingga Rencana Strategis Kementerian/Lembaga dan
Satuan Kerja Pemerintah
Daerah (SKPD) baik
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan
demikian, maka program-program pembangunan di
setiap instansi pemerintah
baik pusat maupun
daerah, pada hakekatnya membentuk
derap langkah yang
serasi menuju kepada
titik akhir yang sama.
Bahkan keberadaan lembaga
politik, pelaku usaha
sektor swasta, hingga organisasi kemasyarakatan (civil
society) sesungguhnya harus bermuara pada tujuan dan cita-cita
nasional tadi. Ini
berarti pula bahwa
pencapaian tujuan dan
cita-cita nasional bukanlah tanggungjawab
dari seseorang atau
instansi saja, melainkan setiap warga negara, setiap
pegawai/pejabat pemerintah, dan siapapun yang merasa memiliki identitas
ke-Indonesia-an dalam dirinya,
wajib berkontribusi sekecil apapun dalam upaya mewujudkan tujuan
dan cita-cita nasional.
Demikian pembelajaran tentang
Bentuk Negara Indonesia dan Makna
Kesatuan bagi Bangsa Indonesia. Selamat belajar.
No comments