Sejarah Pancasila pada Masa Pra Kemerdekaan, Era kemerdekaan, Era Orde Lama, Era Orde Baru dan Era Reformasi. Presiden Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna, “sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu “sejarah merupakan gurukehidupan”.
Arus sejarah memperlihatkan
dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika
mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan cita- cita itu menjadi kabur
dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64). Pentingnya
cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh
cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang dapat
mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu
yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban
besar) (Madjid dalam Latif, 2011:42).
Begitu kuat dan mengakarnya
Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya sepanjang masa.
Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “confirm and
deepen” identitas Bangsa Indonesia. Ia lebih dari itu. Ia adalah identitas
Bangsa Indonesia sendiri sepanjang masa. Sejak Pancasila digali kembali dan
dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara,maka ia membangunkan dan
membangkitkan.
A. Pancasila Pra Kemerdekaan
Kekalahan tentara Belanda
1942 kepada tentara Jepang di Kalijati merupakan awal berakhirnya penjajahan
Belanda di Indonesia. Kemenangan Jepang tersebut semula disambut gembira oleh
rakyat Indonesia yang sejak awal tidak mempunyai harapan merdeka di bahwa
penjajahan Belanda. Harapan mereka, Jepang sebagai sesama bangsa Asia akan
memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dalam waktu dekat.
Strategi Jepang untuk menjajah
Indonesia memang cukup bagus, yaitu dengan membolehkan rakyat Indonesia
mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagi Indonesia Raya, dan untuk
mengganti untuk sementara tenaga administratifnya yang ditenggelamkan Sekutu,
pegawai pangreh praja Indonesia dinaikkan pangkatnya meskipun diturunkan
gajinya. Tentara Jepang menyebut dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia
Dengan sangat strategis, tentara Jepang juga merekrut intelektual Indonesia
dengan memberinya wadah Komisi Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Negara tanggal
8 November 1942 yang bersama-sama 13 orang Jepang mendiskusikan idea-idea
mereka tentang nilai-nilai budaya bangsa Indonesia baik untuk kepentingan
Jepang maupun untuk kepentingan Indonesia merdeka yang mereka cita-citakan. Bahkan
setelah kegagalan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon
Pemimpin Asia, maka didirikanlah Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang diketuai
oleh empat serangkai, Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Mas Mansur, yang
mendapat sambutan hangat dari rakyat. Setelah itu dibentuklah berbagai
organisasi massa seperti Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu
Polisi), Heiho yang terkenal dengan PETA yang diprakarsai Gatot Mangkupraja.
Semuanya adalah strategi Jepang untuk ‘melunakkan’ hati rakyat Indonesia agar
mau membantu Jepang melawan Sekutu.
Kekalahan Jepang secara
beruntun dalam perang (PD II) melawan sekutu ‘memaksa’ pemimpin administrasi
militer di Indonesia yaitu Hayashi menganjurkan kepada Pemerintah Jepang
memberi janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, sebab berdasarkan
pengamatannya kesengsaraan bangsa Indonesia di bawah pemerintah Tentara
Pendudukan sudah tidak tertahankan lagi. Maka kalau Jepang secara eksplisit
tidak memberikan janjir kemerdekaan itu kepada pemimpin-peminpin Indonesia
tentu mereka akan berbalik melawan Jepang. Kalau itu terjadi, maka keadaan
Jepang tentu tidak dapat diselamatkan lagi. Saran ini kemudian diterima oleh
Pemerintah Jepang dibawah Perdana Menteri Koiso. Maka tanggal 7 September 1944,
Koiso mengumumkan ke seluruh dunia di muka sidang ke-85 Parlemen Jepang bahwa
Indonesia akan diberi kemerdekaan dalam waktu dekat.
Dasar negara Indonesia,
dalam pengertian historisnya merupakan hasil pergumulan pemikiran para pendiri
negara (The Founding Fathers) untuk menemukan landasan atau pijakan yang kokoh
untuk di atasnya didirikan negara Indonesia merdeka. Walaupun rumusan dasar
negara itu baru mengemuka pada masa persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), namun bahan- bahannya telah
dipersiapkan sejak awal pergerakan kebangsaan Indonesia. Latif (2002: 5)
menyebutkan bahwa setidaknya sejak dekade 1920-an pelbagai kreativitas
intelektual mulai digagas sebagai usaha mensintesiskan aneka ideologi dan gugus
pergerakan dalam rangka membentuk “blok historis” (blok nasional) bersama demi
mencapai kemerdekaan. Pemberian kemerdekaan dan bayangan kekalahan Jepang
tersebut akhirnya ‘memaksa, mereka untuk mengumumkan pembentukan BPUPKI yang
selanjutnya disebut dalam bahasa Jepang sebagai Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
(Badan Persiapan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dibentuk pada 29 April 1945
sebagai realisasi janji kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945 dari
pemerintah Jepang. Anggota BPUPKI berjumlah 63 orang, termasuk Dr. KRT.
Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua, Itibangase Yosio (anggota luar biasa
yang berkebangsaan Jepang) dan R. Pandji Soeroso (merangkap Tata Usaha)
masing-masing sebagai wakil ketua Pembicaraan mengenai rumusan dasar negara
Indonesia melalui sidang-sidang BPUPKI berlangsung dalam dua babak, yaitu:
pertama, mulai 29 Mei sampai 1 Juni 1945; dan kedua, mulai 10 Juli sampai 17
Juli1945.
Dr. KRT. Rajiman
Wedyodiningrat diangkat ketua (kaityo), bukan Soekarno, yang pada waktu itu
dianggap sebagai pemimpin nasional yang utama. Pengangkatan tersebut disetujui
oleh Soekarno, alasannya, sebagai anggota biasa akan lebih mempunyai banyak
kesempatan untuk aktif dalam diskusi-diskusi.
Sidang pleno BPUPKI
pertama, sidang dibuka dengan sambutan Saiko Syikikan, Gunseikan, yang
menasehati BPUPKI agar mengadakan penelitian yang cermat terhadap dasar-dasar
yang akan digunakan sebagai landasan negara Indonesia merdeka sebagai suatu
mata rantai dalam lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya.
Ketika Dr. Radjiman Wediodiningrat,
selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada
tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (negara)
Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan anamnesis yang memutar
kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang; hal ini mendorong mereka untuk
menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam
lumpur sejarah (Latif, 2011: 4). Begitu lamanya penjajahan di bumi pertiwi
menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah dalam menentukan dasar negaranya.
Dengan permintaan Dr. Radjiman inilah, figur-figur negarawan bangsa Indonesia
berpikir keras untuk menemukan kembali jati diri bangsanya.
Pada sidang pertama BPUPKI,
tampil berturut-turut untuk berpidato menyampaikan usulannya tentang dasar
negara. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan
dasar Negara Indonesia sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan, 2) Peri
Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan, 4) Peri Kerakyatan dan 5) Kesejahteraan Rakyat.
Selanjutnya Prof. Dr. Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teori-teori
Negara, yaitu: 1) Teori negara perseorangan (individualis), 2) Paham negara
kelas dan 3) Paham negara integralistik. Kemudian disusul oleh Ir. Soekarno
pada tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan lima dasar negara yang terdiri dari:
1) Nasionalisme (kebangsaan Indonesia), 2) Internasionalisme (peri
kemanusiaan), 3) Mufakat (demokrasi), 4) Kesejahteraan sosial, dan 5) Ketuhanan
Yang Maha Esa (Berkebudayaan) (Kaelan, 2000:37-40).
Pergumulan pemikiran dalam
sejarah perumusan dasar negara Indonesia bermula dari permintaan Dr. KRT.
Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua BPUPKI pada 29Mei 1945 kepada anggota
sidang untuk mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka. Untuk merespon permintaan
Ketua BPUPKI, maka dalam masa sidang pertama, yaitu 29 Mei sampai 1 Juni 1945,
Muhammad Yamin dan Soekarno mengajukan usul berhubungan dengan dasar negara.
Soepomo juga menyampaikan pandangannya dalam masa sidang ini namun hal yang
dibicarakan terkait aliran atau paham kenegaraan, bukan mengenai dasar negara.
Dalam pidato 1 Juni 1945,
Soekarno menyebut dasar negara dengan menggunakan bahasa Belanda,
philosophische grondslag bagi Indonesia merdeka. Philosophische grondslag
itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang
sedalam- dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka. Soekarno
juga menyebut dasar negara dengan istilah ‘weltanschauung’ atau pandangan hidup
(Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), 1995: 63, 69,
81, dan RM. A.B. Kusuma, 2004: 117, 121,128-129).
Susunan nilai atau prinsip
yang menjadi fundamen atau dasar negara pada masa sidang pertama BPUPKI
tersebut berbeda-beda. Usul Soekarno mengenai dasar negara yang disampaikan dalam
pidato 1 Juni 1945 terdiri atas lima dasar. Menurut Ismaun, sebagaimana dikutip
oleh Bakry (2010: 31), setelah mendapatkan masukan dari seorang ahli bahasa,
yaitu Muhammad Yamin yang pada waktu persidangan duduk di samping Soekarno,
lima dasar tersebut dinamakan oleh Soekarno sebagai ‘Pancasila’.
Penemuan kembali Pancasila
sebagai jati diri bangsa terjadi pada sidang pertama BPUPKI, dimana
padatanggal1Juni1945 di depan sidang BPUPKI, Ir. Soekarno menyebutkan lima
dasar bagi Indonesia merdeka. Sungguh pun Ir. Soekarno telah mengajukan lima
sila dari dasar negara, beliau juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada
yang tidak menyukai bilangan lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar
dari segala dasar kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri
Sila bahkan dapat dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila. Tri Sila meliputi:
socio-nationalisme, socio democratie dan ke-Tuhanan. Sedangkan Eka Sila yang
dijelaskan oleh Ir. Soekarno yaitu “Gotong Royong” karena menurut Ir. Soekarno
negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara gotong
royong (Latif, 2011: 18-19). Tetapi yang lahir pada tanggal 1 Juni itu
adalahnama Pancasila(di samping nama Trisila dan Ekasila yang tidak terpilih)
(Notosusanto, 1981: 21). Ini bukan merupakan kelemahan Ir. Soekarno, melainkan
merefleksikan keluasan wawasan dan kesiapan berdialog dari seorang negarawan
besar. Faktanya Ir, Soekarno diakhir sejarah terbukti sebagai penggali
Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.
Setelah sidang pertama
BPUPKI dilaksanakan, terjadi perdebatan sengit yang disebabkan perbedaan
pendapat. Karena apabila dilihat lebih jauh para anggota BPUPKI terdiri dari
elit Nasionalis netral agama, elit Nasionalis Muslim dan elit Nasionalis
Kristen. Elit Nasionalis Muslim di BPUPKI mengusulkan Islam sebagai dasar
Negara, namun dengan kesadaran yang dalam akhirnya terjadi kompromi politik
antara Nasionalis netral agama dengan Nasionalis Muslim untuk menyepakati
Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang berisi “tujuh kata”: “…dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa” (Risalah Sidang BPUPKI, 1995; Anshari, 1981; Darmodihardjo, 1991).
Kesepakatan peniadaan tujuh kata itu dilakukan dengan cepat dan legowo demi
kepentingan nasional oleh elit Muslim: Moh. Hatta; Ki Bagus Hadikusumo, Teuku
Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi elit Muslim sendiri tidak ingin
republik yang dibentuk ini merupakan negara berbasis agama tertentu (Eleson
dalam Surono dan Endah (ed.), 2010:37)
Untuk menampung
usulan-usulan yang bersifat perorangan, dibentuklah panitia kecil yang diketuai
oleh Soekarno dan dikenal sebagai ‘Panitia Sembilan’. Dari rumusan
usulan-usulan itu, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan Mukadimah
(Pembukaan) Hukum.
Dasar yang dinamakan
‘Piagam Jakarta’ atau Jakarta Charter oleh Muhammad Yamin pada 22 Juni 1945
Rumusan dasar negara yang secara sistematik tercantum dalam alinea keempat,
bagian terakhir pada rancangan Mukadimah tersebut adalah sebagai berikut:
1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Persatuan Indonesia.
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sidang BPUPKI kedua, yaitu
10 Juli sampai 17 Juli 1945 merupakan masa penentuan dasar negara Indonesia
merdeka. Selain menerima Piagam Jakarta sebagai hasil rumusan Panitia Sembilan,
dalam masa sidang BPUPKI kedua juga dibentuk panitia- panitia Hukum Dasar yang
dikelompokkan menjadi tiga kelompok Panitia Perancang Hukum Dasar. Sidang
lengkap BPUPKI pada 14 Juli 1945 mengesahkan naskah rumusan Panitia Sembilan
berupa Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukadimah Hukum Dasar (RMHD) dan menerima
seluruh Rancangan Hukum Dasar (RHD) pada hari berikutnya, yaitu 16 Agustus 1945
yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya termuat Piagam Jakarta sebagai
Mukadimah.
Setelah sidang BPUPKI
berakhir pada 17 Juli 1945, maka pada 9 Agustus 1945 badan tersebut dibubarkan
oleh pemerintah Jepang dan dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan atau dalam
bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyunbi Inkai yang kemudian dikenal sebagai
‘Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan mengangkat Soekarno
sebagai ketua dan Moh. Hatta sebagai wakil ketua. Panitia ini memiliki peranan
yang sangat penting bagi pengesahan dasar negara dan berdirinya negara
Indonesia yang merdeka. Panitia yang semula dikenal sebagai ‘Buatan Jepang’
untuk menerima “hadiah” kemerdekaan dari Jepang tersebut, setelah takluknya
Jepang di bawah tentara Sekutu pada 14 Agustus 1945 dan proklamasi kemerdekaan
negara Indonesia, berubah sifat menjadi ‘Badan Nasional’ Indonesia yang
merupakan jelmaan seluruh bangsa Indonesia.
Pada pidato tanggal 1 Juni
1945 tersebut, Ir Soekarno mengatakan, “Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah
berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan
permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia
Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia
ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische grond-slag” daripada Indonesia
Merdeka. Philosofische grond-slag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang
sedalam- dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya
didirikan gedung Indonesia yang kekal dan abadi”(Bahar, 1995:63).
Begitu hebatnya Ir.
Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis dan koheren, namun
dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut sebagai pencipta
Pancasila. Beliau mengatakan: “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya,
kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya
bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah
air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya
persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa
sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini
saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap
manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, diberi
ilham oleh Allah Subhanahu Wataala” (Soekarno dalam Latif, 2011:21).
Selain ucapan yang
disampaikan Ir. Soekarno di atas, Pancasila pun merupakan khasanah budaya
Indonesia, karena nilai-nilai tersebut hidup dalam sejarah Indonesia yang
terdapat dalam beberapa kerajaan yang ada di Indonesia, seperti berikut:
1. Pada kerajaan Kutai, masyarakat Kutai
merupakan pembuka zaman sejarah Indonesia untuk pertama kali, karena telah
menampilkan nilai sosial politik, dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri
dan sedekah kepada para Brahmana (Kaelan, 2000:29).
2. Perkembangan kerajaan Sriwijaya oleh Mr.
Muhammad Yamin disebut sebagai Negara Indonesia Pertama dengan dasar kedatuan,
itu dapat ditemukan nilai-nilai Pancasila material yang paling berkaitan satu
sama lain, seperti nilai persatuan yang tidak terpisahkan dengan nilai
ke-Tuhanan yang tampak pada raja sebagai pusat kekuasaan dengan kekuatan
religius berusaha mempertahankan kewibawaannya terhadap para datu. Demikian
juga nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi yang terjalin satu sama lain dengan
nilai internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang terentang dari
pedalaman sampai ke negeri-negeri seberang lautan pelabuhan kerajaan dan Selat
Malaka yang diamankan oleh para nomad laut yang menjadi bagian dari birokrasi
pemerintahan Sriwijaya (Suwarno, 1993:20-21).
3. Pada masa kerajaan Majapahit, di bawah raja
Prabhu Hayam Wuruk dan Apatih Mangkubumi, Gajah Mada telah berhasil
mengintegrasikan nusantara. Faktor- faktor yang dimanfaatkan untuk menciptakan
wawasan nusantara itu adalah: kekuatan religio magis yang berpusat pada Sang
Prabhu, ikatan sosial kekeluargaan terutama antara kerajaan-kerajaan daerah di
Jawa dengan Sang Prabhu dalam lembaga Pahom Narandra. Jadi dapatlah dikatakan
bahwa nilai-nilai religious sosial dan politik yang merupakan materi Pancasila
sudah muncul sejak memasuki zaman sejarah (Suwarno, 1993: 23-24). Bahkan, pada
masa kerajaan ini, istilah Pancasila dikenali yang terdapat dalam buku
Nagarakertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular.
Dalam buku tersebut istilah Pancasila di samping mempunyai arti “berbatu sendi
yang lima” (dalam bahasa Sansekerta), juga mempunyai arti “pelaksanaan
kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu
a. Tidak boleh melakukankekerasan.
b. Tidak bolehmencuri.
c. Tidak boleh berjiwadengki.
d. Tidak boleh berbohong.
e. Tidak boleh mabuk minuman keras
(Darmodihardjo, 1978:6).
Kedua zaman, baik Sriwijaya
maupun Majapahit dijadikan tonggak sejarah karena pada waktu itu bangsa telah
memenuhi syarat-syarat sebagai bangsa yang mempunyai negara. Baik Sriwijaya
maupun Majapahit waktu itu merupakan negara-negara yang berdaulat, bersatu
serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara. Pada zaman tersebut
bangsa Indonesia telah mengalami kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem, kerta raharja (Darmodihardjo dkk, 1991: 21). Selain zaman kerajaan,
masih banyak fase-fase yang harus dilewati menuju Indonesia merdeka hingga
tergalinya Pancasila yang setelah sekian lama tertimbun oleh penjajahan
Belanda.
Sebagai salah satu tonggak
sejarah yang merefleksikan dinamika kehidupan kebangsaan yang dijiwai oleh
nilai-nilai Pancasila adalah termanifestasi dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928 yang berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah
darah yang satu, tanah air Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Pada awal kelahirannya,
menurut Onghokham dan Andi Achdian, Pancasila tidak lebih sebagai kontrak
sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan negosiasi di
tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak digunakan
Indonesia merdeka(Ali, 2009: 17). Inilah perjalanan The Founding Fathers yang
begitu teliti mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan keadaan agar dapat
melahirkan dasar negara yang dapat diterima semua lapisan masyarakat Indonesia.
B. Pancasila Era Kemerdekaan
Pada tanggal 6 Agustus 1945
bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika Serikat yang mulai
menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama
menjadi PPKI menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada
Amerika dan sekutunya. Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya.
Untuk merealisasikan tekad
tersebut, maka pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi perundingan antara golongan
muda dan golongan tua dalam penyusunan teksproklamasi yang berlangsung singkat,
mulai pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo di ruang makan Laksamana Tadashi
Maeda tepatnya di jalan Imam Bonjol No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir.
Soekarno. Sukarni (dari golongan muda) mengusulkan agar yang menandatangani
teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa
Indonesia. Kemudian teks proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti
Melik.
Isi Proklamasi Kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Piagam
Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan
melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan
Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian
San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah
sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
(Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh sidang PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah terlebih dahulu
dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Awal dekade 1950-an muncul
inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi ulang terhadap
Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua
kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar
kompromi politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya
kompromi politik melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa.
Kedua, mereka yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar
argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.
Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara
golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir
Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad
Natsir dkk) mengenai dasar negara.
C. Pancasila Era Orde Lama
Terdapat dua pandangan
besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya Dekrit
Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran” Presiden/Pemerintah
untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana
dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya
menyetujui ‘kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artinya
dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua
usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang konstituante (Anshari,
1981: 99).
Hal ini tampak ketika akhir
tahun 1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi atau titik
pertemuan bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksud Sukarno. Ini karena
Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk mendelegitimasi
tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Bahkan secara terang- terangan
Sukarno tahun 1953 mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi- implikasi
negatif terhadap kesatuan nasional jika orang-orang Islam Indonesia masih
memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam, atau untuk pasal-pasal
konstitusional atau legal, yang akan merupakan pengakuan formal atas Islam oleh
Negara.
Kekhawatiran Sukarno memang
beralasan, apalagi ketika rentang tahun 1948 dan tahun 1962 terjadi
pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah pusat. Serangan pemberontakan
bersenjata yang berideologi Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh
meski akhirnya dapat ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia, tetap saja
menjadi bukti kongkret dari ‘ancaman Islam’. Bahkan atas desakan AH. Nasution,
kepala staf AD, tahun 1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk
kembali kepada UUD 1945 dan menjadikannya sebagai satu-satunya konstitusi legal
Republik Indonesia.
Kejadian ini menyebabkan
Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui
oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada
tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5
Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit
Presiden tersebut berisi:
1. Pembubaran konstituante;
2. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara.
Sosialisasi terhadap paham
Pancasila yang konklusif menjadi prelude penting bagi upaya selanjutnya;
Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang tampil hegemonik. Ikhtiar tersebut
tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan
paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto politik (manipol) adalah materi
pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi
Kita” yang kemudian
ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis- Garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan
Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang
GBHN (Ali, 2009: 30). Manifesto politik Republik Indonesia tersebut merupakan
hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit yang disetujui oleh
DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan negara (Ismaun, 1978: 105).
Oleh karena itu, mereka
yang berseberangan paham memilih taktik “gerilya” di dalam kekuasaan
Ir.Soekarno.Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan agenda yang
berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan politik. Tidak
hanya PKI, mereka yang anti komunisme pun sama (Ali, 2009: 33). Walaupun
kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-sama menggunakan
Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki persatuan di antara
beragam golongan dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu paying besar,
bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), sementara golongan antikomunis mengkonsolidasi
diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni” dengan
menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009: 34).
Era ini disebut sebagai
Demokrasi terpimpin, sebuah periode paling labil dalam struktur politik yang
justru diciptakan oleh Sukarno. Pada era ini juga Sukarno membubarkan partai
Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional
berideologi Islam. Dalam periode Demokrasi Terpimpin ini, Sukarno juga mencoba
membatasi kekuasaan semua partai politik, bahkan pertengahan 1950-an, Sukarno
mengusulkan agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang
konsep musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila. Dalam rangka
menyeimbangkan secara ideologis kekuatan-kekuatan Islam, nasionalisme dan
komunisme, Sukarno bukan saja menganjurkan Pancasila melainkan juga sebuah
konsep yang dikenal sebagai NASAKOM, yang berarti persatuan antara
nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan-kepentingan politis dan ideologis
yang saling berlawanan antara PKI, militer dan Sukarno serta agama (Islam)
menimbulkan struktur politik yang sangat labil pada awal tahun 1960-an, sampai
akhirnya melahirkan Gerakan 30 S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan
Orde Lama. Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya
perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden
Indonesia, melalui sidang MPRS.
D. Pancasila Era Orde Baru
Peristiwa percobaan kudeta
30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia telah membawa
perubahan besar dalam sejarah politik Indonesia. Peristiwa penumpasan terhadap
G 30 S/PKI dibawah komando Letjen Soeharto memberikan legitimasi politik atas
‘kesaktian’ Pancasila tanggal 1 Oktober 1965, sebagai momentum betapa PKI tidak
berhasil dan tidak pernah didukung oleh TNI dan rakyat untuk menggantikan
ideologi negara (Pancasila) dengan ideologi komunis. Tampilnya Pangkostrad
Lentjen Soeharto dalam penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI tersebut adalah
sejarah baru bagi terjadinya peralihan kekuasaan dari Sukarno (Orde Lama) ke
Suharto (Orde Baru).
Pada awal kekuasaannya,
Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dan
konstitusional dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Sukarno,
pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan
karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya.
Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai keinginan untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru yang lebih baik daripada keadaan
lama. Reorientasi ekonomi, politik dan hubungan internasional ditambah
stabilitas nasional adalah langkah awal yang ditegakkan oleh Orde Baru.
Setelah lengsernya Ir.
Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang kendali
terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah
pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir
Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak
mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila”.
Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan
sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara
yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan
(Setiardja, 1994: 5).
Jadi, Pancasila dijadikan
sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya
Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden
Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat
bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau
mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan
(Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42).
Selanjutnya pada tahun 1968
Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang
menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
Satu : Ke-Tuhan-an Yang
Maha Esa
Dua : Kemanusiaan yang adil
dan beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut
mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan
ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu pasalnya tepatnya
Pasal 4 menjelaskan; “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan
penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di
Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Adapun nilai dan
norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut meliputi 36 butir,
yaitu:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
b. Hormat-menghormati dan bekerja sama antara
pemeluk agama dan penganut- penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga
terbina kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat
sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan
kepada orang lain.
2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan
persamaan kewajiban antara sesama manusia.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo
seliro.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian
dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia.
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan
negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah
air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan
bangsa yang ber- Bhinneka Tunggal Ika.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
a. Mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil
keputusan untuk kepentingan bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi
oleh semangat kekeluargaan.
e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab
menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan
sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g. Keputusan yang diambil harus dipertanggung
jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5. Sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur
yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
b. Bersikap adil.
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
g. Tidak bersifat boros.
h. Tidak bergaya hidup mewah.
i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan
kepentingan umum.
j. Suka bekerja keras.
k. Menghargai hasil karya orang lain.
l. Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata
dan berkeadilan sosial.
Nilai-nilai Pancasila yang
terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun 1994 disarikan/dijabarkan
kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat digambarkan
yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh)
butir; SilaKetiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh)
butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.
Sumber hukum dan tata
urutan peraturan perundang-undangan di negara Indonesia diatur dalam
KetetapanMPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan
rakyathanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam
segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan
secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan- ketentuan UUD 1945, untuk
menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang konstitusionil
sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945” (Ali, 2009: 37).
Ketika itu, sebagian
golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa
pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat
dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru
27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan
diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde
Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak
seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan
Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde
Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas
Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai
pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44).
Dengan semakin terbukanya
informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an
yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek
pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan
manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian
kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei
1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 45).
E. Pancasila Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya
sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana Negara, dalam
kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan
tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai
gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat
sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang
politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000:245).
Saat Orde Baru tumbang,
muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara waktu seolah
dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu
berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran.
Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu
selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009:50).
Dengan seolah-olah
“dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak
nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya makin
terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya,
akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada
akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara
Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya
bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi
kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda. Dalam
bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah
lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang
politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik
seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari
itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominansi atas hasrat
untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan
nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti
dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan
Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara normatif, tercantum
dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan
bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar
negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara
konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus
dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan
Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang
ditetapkandalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat(3) yang menyebutkan;
“Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-
Undang Dasar 1945”.
Semakin memudarnya
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara membuat khawatir
berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004
Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor
integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian tampak
signifikan karena proses amandeman UUD 1945 saat itu sempat memunculkan gagasan
menghidupkan kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009: 51). Selain keadaan di atas,
juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan agama. Tidak lama kemudian muncul
gejala Perda Syariah di sejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan
melengkapi kegelisahan publik selama reformasi yang mempertanyakan arah gerakan
reformasi dan demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah kalangan.
Diskursus tentang Pancasila kembali menghangat dan meluas usai Simposium Peringatan
Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006
(Ali, 2009: 52). Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009
secara intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi
nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen
Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.
Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah menyelenggarakan kegiatan
sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di Universitas Gadjah Mada,
Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas Pendidikan
Indonesia, dan Kongres Pancasila di Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI
melakukan kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal dengan
sebutan “Empat Pilar Kebangsaan”, yang terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang
Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Akan tetapi, istilah “Empat
Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012: 249-252) mengandung; 1) linguistic
mistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula dikatakan kesalahan terminologi;
2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada realitas empiris sebagaimana terkandung
dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu pengertian atau ide,
‘berbangsa dan bernegara’ itu dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar);
3) kesalahan kategori (category mistake), karena secara epistemologis kategori
pengetahuan Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama.
Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas atau hakikat pengetahuannya, wujud
pengetahuan, kebenaranpengetahuannyasertakoherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai
aktivitas untuk mensosialisasikan kembali Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa: Penempatan Pancasila sebagai
sumberdari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara
sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Hal tersebut berkorelasi bahwa
Undang-Undang ini penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai dasar negara.
Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup. Pancasila dalam kedudukannya
sebagai pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh seluruh
komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali, sehingga cukup banyak
lembaga pemerintah di pusat yang melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi
nilai-nilai Pancasila. Salah satu kebijakan nasional yang sejalan dengan
semangat melestarikan Pancasila di kalangan mahasiswa adalah Pasal 35
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan
bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila,
Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Makna penting dari kajian
historis Pancasila ini ialah untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus secara imperatif kategoris
menghayati dan melaksanakan Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai
Pandangan Hidup Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai- nilai Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945 dan secara konsisten menaati ketentuan- ketentuan dalam
pasal-pasal UUD 1945.
Demikian uraian singkat tentang Sejarah Pancasila pada Masa Pra Kemerdekaan, Era kemerdekaan, Era Orde Lama, Era Orde Baru dan Era Reformasi. Semoga ada manfaatnya
Terima kasih telah menginspirasi dan telah menjadi sosok yang banyak membantu melalui tulisan-tulisan yang ada pada blog ini. Anda telah membantu membuat pelajaran menjadi menyenangkan, memberikan banyak wawasan yang dapat membantu kami dalam menggapai cita-cita. .Doakan kami yang sedang belajar agar dapat menjadi generasi yang cerdas di masa-masa yang akan datang